Lembar Informasi Bahasa dan Sastra

Share link

Lembar Informasi Bahasa dan Sastra berisi ulasan-ulasan tentang masalah kebahasaan dan kesastraan. Pada tahun 2009 Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah menerbitkan empat edisi yang dalam setiap edisinya terdiri atas dua artikel.

Berikut ini artikel-artikel yang diterbitkan.

Edisi 1, Januari-Maret 2009

Proses Penyerapan Istilah dalam Bahasa Indonesia

Sutiyem

 

Perbendaharaan bahasa Indonesia diperkaya oleh kata serapan dari berbagai bahasa asing, misalnya dari bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Prancis, dan Arab. Kata-kata serapan itu masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui empat cara yang lazim ditempuh, yaitu adopsi, adaptasi, penerjemahan, dan kreasi.

Cara adopsi terjadi apabila pemakai bahasa mengambil bentuk dan makna kata asing yang diserap secara keseluruhan. Kata supermarket, plaza, mall, hotdog merupakan contoh cara penyerapan adopsi.

Cara adaptasi terjadi apabila pemakai bahasa hanya mengambil makna kata asing yang diserap dan ejaan atau cara penulisannya disesuaikan ejaan bahasa Indonesia. Kata-kata seperti pluralisasi, akseptabilitas, maksimal, dan kado merupakan contoh kata serapan adaptasi. Kata-kata tersebut mengalami perubahan ejaan dari bahasa asalnya (pluralization dan acceptability dari bahasa Inggris, maximaal dari bahasa Belanda, serta cadeu dari bahasa Prancis). Pedoman pengadaptasiannya adalah Pedoman Penulisan Istilah dan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang dikeluarkan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Cara Penerjemahan terjadi apabila pemakai bahasa mengambil konsep yang terkandung dalam kata bahasa asing kemudian mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata-kata seperti tumpang-tindih, percepatan, proyek rintisan, dan uji coba adalah kata-kata yang lahir karena proses penerjemahan dari bahasa Inggris overlap, acceleration, pilot project, dan try out. Penerjemahan istilah asing memiliki beberapa keuntungan. Selain memperkaya kosakata bahasa Indonesia dengan sinonim, istilah hasil terjemahan juga meningkatkan daya ungkap bahasa Indonesia. Dalam pembentukan istilah lewat penerjemahan perlu diperhatikan pedoman berikut.

  • a. Penerjemahan tidak harus berasas satu kata diterjemahkan satu kata.

Misalnya:

psychologist          →  ahli psikologi

medical practitioner →  dokter

  • b. Istilah asing dalam bentuk positif diterjemahkan ke dalam istilah Indonesia bentuk positif, sedangkan istilah dalam bentuk negatif diterjemahkan ke dalam istilah Indonesia bentuk negatif pula.

Misalnya:

inorganic       → takorganik

bound form    → bentuk terikat

  • c. Kelas kata istilah asing dalam penerjemahan sedapat-dapatnya dipertahankan pada istilah terjemahannya.

Misalnya:

merger (nomina)         →  gabung usaha

transparent (adjektiva) → bening (adjektiva)

  • d. Dalam penerjemahan istilah asing dengan bentuk plural, pemarkah kejamakannya ditinggalkan pada istilah Indonesia.

Misalnya:

master of ceremonies → pengatur acara

charge d’affaires → kuasa usaha

Cara kreasi terjadi apabila pemakai bahasa hanya mengambil konsep dasar yang ada dalam bahasa sumbernya kemudian mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Meskipun sekilas mirip perjemahan, cara terakhir ini memiliki perbedaan. Cara kreasi tidak menuntut fisik yang mirip seperti pada penerjemahan. Kata yang dalam bahasa aslinya ditulis dua atau tiga kata dalam bahasa Indonesianya boleh hanya satu kata saja atau sebaliknya, misalnya:

effective     → berhasil guna 

shuttle        → ulang alik

spare parts → suku cadang

            Bentuk-bentuk serapan dari bahasa asing yang lain adalah dari bahasa Belanda, bahasa Sanskerta, bahasa Latin, dan bahasa Arab.

Contoh serapan dari bahasa Belanda:

paal-pal                                   octaaf-oktaf

riem-rim                                  politiek-politik

Contoh serapan dari bahasa Sanskerta:

catur-caturwarga                     catur warga

sapta-saptamarga                     sapta marga

dasa-dasawarsa                       dasa warsa

Contoh serapan dari bahasa Arab:

Jihad, mujahidin, tawakal, kotbah, halal bi halal

Penulisan yang benar (yang tebal)

khalal-halal     khusus-kusus

tawaqal-tawakal                     akir-akhir                               

 

 

 

Edisi 1, Januari-Maret 2009

 

Psikiater dan Psikolog

Sutarsih

 

Dalam bidang kedokteran dikenal istilah psikiater dan psikolog. Selama ini psikiater dan psikolog dianggap bidang pekerjaan yang sama. Benarkah demikian? Berdasarkan hasil penelusuran ditemukan fakta berikut ini.

Menurut Arnold A. Lazarus dan Clifford N. Lazarus dalam Staying Sane in a Crazy World,  psikiater adalah dokter bergelar M.D. atau D.O. yang lulus dari sekolah kedokteran dan mendalami cabang ilmu pengobatan yang meliputi pencegahan, diagnosis, dan perawatan gangguan mental dan emosi. Kebanyakan dokter-tanpa melihat spesialisasinya-menjalani pelatihan yang sama di sekolah kedokteran dan praktik pascasarjana, lalu mengambil spesialisasi selama periode pelatihan tingkat tinggi yang disebut dengan residensi atau praktik kerja. Pelatihan di bidang psikiatri ini biasanya memakan waktu tiga tahun.

Karena yang utama dalam pelatihan adalah tentang kedokteran, hanya sedikit psikiater yang secara mendalam menjalani spesialisasi di bidang perawatan psikososial, dan mereka yang menjalaninya biasanya belajar tentang psikoanalisis tradisional atau metode psikodinamika. Oleh karena itu, cara pertama bagi kebanyakan psikiater dalam melakukan perawatan adalah dengan meresepkan obat, memasukkan pasien dalam terapi analisis yang panjang, atau mengombinasikan obat dan psikodinamika yang lebih singkat.

Psikolog klinis dilatih dalam bidang seni dan ilmu psikologi terapan; studi tentang pikiran manusia, emosi, perilaku, dan hubungan. Seorang psikolog klinis biasanya menyandang gelar doktor-Ph.D., Psy.D., Ed.D., atau S.Psi.-dari universitas yang terakreditasi. Ia sekurang-kurangnya memiliki dua tahun pengalaman praktik pascadoktoral dalam lingkungan klinis, dan seperti layaknya dokter ia harus mendapat izin praktik di bawah naungan hukum.

Psikolog klinis menerapkan prinsip psikologi dalam manajemen terapi mental, emosional, perilaku, dan masalah perkembangan individu dan kelompok. Mereka terlatih dalam mendiagnosa, menilai, memberikan tes psikologi, psikososial, serta metode penanggulangan. Walaupun dalam banyak kasus psikolog klinis tidak diizinkan untuk meresepkan obat, belakangan ini mereka mempelajari psikofarmakologi dan siap untuk bekerja sama dengan psikiater atau praktisi kedokteran lain pada saat pengobatan dibutuhkan.

Psikolog adalah seorang ahli dalam bidang psikologi, bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental. Psikolog dapat dikategorikan ke dalam beberapa bidang tersendiri sesuai dengan cabang ilmu psikologi yang ditekuninya. Tetapi kata psikolog lebih sering digunakan untuk menyebut ahli psikologi klinis, ahli psikologi di bidang kesehatan mental. Psikolog di Indonesia tergabung dalam organisasi profesi bernama Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI).

Sarjana psikologi yang telah mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S-1) dengan kurikulum lama (sistem paket murni) perguruan tinggi Negeri (PTN); atau sistem kredit semester (SKS) PTN; atau kurikulum nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) yang meliputi pendidikan program akademik (sarjana psikologi) dan program pendidikan profesi (psikolog); atau kurikulum lama perguruan tinggi swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang sudah mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikolog Indonesia oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI).

Profesi seorang psikolog sedikit berbeda dengan seorang psikiater yang menyelidiki penyebab gejala psikologi dari sisi kedokteran dan dari sisi kelainan susunan saraf para penderita penyakit jiwa. Jadi, pada prinsipnya seorang psikiater adalah seorang dokter yang mengambil spesialisasi penyakit jiwa. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008 dinyatakan bahwa psikiater adalah dokter yang ahli di penyakit jiwa, sedangkan psikolog adalah ahli psikologi.

Psikiater adalah profesi dokter spesialis yang bertugas menangani masalah gangguan jiwa. Berbeda dengan psikolog, seorang psikiater harus lebih dulu menamatkan pendidikan dokter umum. Gelar akademik psikiater di Indonesia adalah Sp.KJ (spesialis kedokteran jiwa) (http://wikipedia.org/wiki/Psikiater).

 

 

 

Edisi 2, April-Juni 2009

 

Homonimi dalam Bahasa Indonesia

Poetri Mardiana Sasti

 

Homonimi berasal dari bahasa Yunani homo dan onoma. Onoma berarti ‘nama’ dan homo berarti ‘sama’. Homonimi merupakan relasi makna antarkata yang ditulis sama dan/atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda. Sebagai contoh kata bisa yang terdapat dalam kalimat berikut.

1. Ular cobra memiliki bisa yang dapat menyebabkan kematian.

2. Aldi bisa mengerjakan semua soal ulangan.

Pada kalimat (1) dan (2) terdapat dua unsur yang sama bentuknya (baik tulisan maupun bunyinya), namun memiliki arti leksikal yang berbeda, yaitu kata bisa. Bisa  pada kalimat (1) berarti ‘racun’; sedangkan bisa pada kalimat (2) berarti ‘dapat’.

Selain homonimi ada pula bentuk homograf dan homofon. Homograf adalah dua kata atau lebih yang tulisan sama, tetapi lafal dan makna leksikalnya berbeda. Sebagai contoh adalah kata tahu yang dapat berarti (1) ‘makanan’ dan juga (2) ‘paham; mengerti’. Kata tahu merupakan bentuk homograf, yaitu kata-kata yang ditulis sama tetapi dilafalkan berbeda dan arti leksikalnya juga berbeda.  

Homofon adalah kata-kata yang dilafalkan sama tetapi cara penulisan dan arti leksikalnya berbeda. Contohnya adalah kata masa yang berarti ‘waktu’ dan massa yang berarti ‘jumlah besar yang menjadi satu kesatuan’. Kedua kata ini dilafalkan sama tapi cara penulisan dan arti leksikalnya berbeda. Contoh lain adalah kata sangsi yang berarti ‘ragu’ dan sanksi yang berarti ‘tindakan-tindakan, hukuman’, juga merupakan bentuk homofoni.

Berdasarkan proses pembentukannya, homonimi dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:

1. Homonimi yang terbentuk karena kedua kata berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan.

      Contoh: kali.

Kata kali memiliki dua makna, yaitu ‘kelipatan’ dan ‘sungai’. Kata kali yang berarti ‘kelipatan’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata kali yang berarti ‘sungai’ berasal dari bahasa Jawa. Contoh lain adalah kata abang yang berarti ‘kakak laki-laki’ berhomonim dengan kata abang yang berarti ‘merah’ yang berasal dari bahasa Jawa.

2.  Homonimi yang terbentuk karena proses afiksasi.

Afiksasi adalah proses penambahan afiks pada akar, dasar, atau alas. Dalam hal ini, pasangan homonimi terjadi karena adanya pengimbuhan pada kata dasar. Sebagai contoh adalah kata merapatkan yang berasal dari kata dasar rapat yang mendapat imbuhan me- -kan. Kata merapatkan yang pertama berarti ‘mempererat, menjadikan rapat’, sedangkan kata merapatkan yang kedua berarti ‘mengajak berapat untuk membicarakan sesuatu atau berunding’.

3.  Homonimi yang terbentuk karena penyingkatan.

Sebagai contoh adalah PBB. Singkatan PBB yang pertama merupakan kepanjangan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. PBB yang kedua merupakan singkatan dari peraturan baris-berbaris, dan yang ketiga merupakan singkatan dari pajak bumi dan bangunan.

4.  Homonimi yang terbentuk karena gejala bahasa.

Gejala bahasa dalam pembentukan homonimi meliputi gejala penambahan fonem dan gejala penghilangan fonem. Sebagai contoh adalah kata gajih. Kata gajih yang pertama dapat berarti ‘lemak’ dan gajih yang kedua berarti ‘upah kerja yang dibayar dalam waktu yang tetap’. Arti kata pertama muncul karena kata itu berasal dari kata gaji yang mendapat tambahan fonem /h/ di belakang.        

 

 

 

Edisi 2, April-Juni 2009

 

Para Ditulis Serangkai atau Terpisah?

Esti Apisari

 

Kata para sering kita gunakan dalam komunikasi sehari-hari. Namun, apakah penggunaannya selama ini telah kita pahami? Bagaimana penulisannya yang tepat, ditulis serangkai atau terpisah? Untuk itu, tiada salahnya jika masalah tersebut kita kupas bersama.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, sebaiknya kita kemukakan beberapa contoh kalimat yang menggunakan  kata para,yaitu:

(1) Proposal itu sudah disetujui oleh para ahli.

(2) Ia menaruh para  dalam wadah yang telah disiapkannya.

(3) Untuk menyelesaikan masalahnya ia berkonsultasi dengan paranormal.

Perhatikan kata-kata para ahli, para, dan paranormal pada contoh di atas. Penulisannya ada yang serangkai dan terpisah. Kata para pada kalimat (1) mengacu pada kata penyerta yang menyatakan kelompok, yakni kelompok ahli. Para dengan makna ini dapat digunakan untuk mengacu pada kelompok lain, seperti guru, siswa, bupati, preman, dan sebagainya. Pada kalimat (2) para bermakna ‘karet; getah (perca)’. Kemudian, pada kalimat (3) para merupakan bentuk terikat. Para pada paranormal bermakna ‘di seberang atau di atas’. Contoh-contoh di atas memperlihatkan kata para ada yang ditulis terpisah dan ada pula yang ditulis serangkai.

Mengapa para ditulis secara terpisah dan serangkai? Satu hal yang menjadi alasan mengapa ada kata para  yang ditulis secara terpisah dan ada yang serangkai adalah karena homonim. Homonim adalah kata yang sama lafal dan ejaannya tetapi berbeda maknanya karena berasal dari sumber yang berlainan. Kata para dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki enam definisi. Di atas telah disebutkan tiga definisi. Tiga definisi yang lain adalah kependekan dari parasut’; ‘prajurit dalam kesatuan angkatan udara’; dan ‘rak atau anyaman bambu untuk menaruh barang-barang’ Adanya enam kata para itu menunjukkan bahwa kata tersebut homonim, yakni mengalami gejala sama atau serupa dalam tulisan dan serupa pula dalam ejaan, namun memiliki makna yang berbeda dan tidak saling berkaitan.

Homonimi para tidak seluruhnya merupakan kata yang berdiri sendiri, ada yang berupa bentuk terikat dan ada pula yang berupa bentuk tak terikat. Seperti contoh dalam kalimat sebelumnya, para pada para ahli tidak dapat ditulis serangkai karena bukan bentuk terikat, melainkan pengacuan ke kelompok. Para yang merujuk pada suatu kelompok merupakan kata penyerta. Artinya, kata tersebut harus disertai kata yang lain dan tidak dapat berdiri sendiri, misalnya:

(4) Kami bertugas menyambut para tamu yang hadir.

Para pada kalimat tersebut tidak dapat berdiri sendiri (terikat) dan harus diikuti oleh kata yang dirujuknya. Oleh karena itu, kalimat tersebut tidak dapat diubah menjadi sebagai berikut.

(4a) Kami bertugas menyambut para yang hadir.

Kalimat itu tidak berterima karena para dalam kalimat di atas terikat dengan hal yang dirujuknya dan tidak dapat berdiri sendiri.

Berbeda halnya dengan kalimat berikut ini.

(5)  Pendamar menyimpan para dalam wadah tertutup.

Para  yang bermakna ‘getah’ dalam kalimat ini bukan bentuk terikat, melainkan kata yang dapat berdiri sendiri. Maknanya tidak berkaitan dengan para pada kalimat sebelumnya. Begitu pula halnya dengan para yang bermakna ‘parasut’, ‘prajurit’, dan ‘rak atau anyaman bambu’. Para  jenis ini juga dapat berdiri sendiri, seperti pada contoh kalimat berikut ini.

(6)  Setiap penerjun payung membawa para sebagai  perlengkapannya.

(7)  Komandan memeriksa para di barisan depan.

(8) Ia memajang barang-barang antiknya di atas para.

Ketiga contoh kalimat tersebut menunjukkan bahwa kata para merupakan kata yang dapat berdiri sendiri dan ditulis terpisah.

Berbeda halnya dengan para pada paranormal. Para jenis ini harus ditulis serangkai karena merupakan bentuk terikat. Paranormal  memiliki makna ‘tidak dapat dijelaskan secara ilmiah; orang yang mempunyai kemampuan dalam memahami, mengetahui, dan mempercayai hal-hal yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah’. Untuk itu, penulisannya harus serangkai. Selain paranormal, bentuk terikat para juga melekat pada parakardiak; paradok; dan masih banyak lagi. Itulah alasannya mengapa kata para ada yang ditulis serangkai dan terpisah. Para yang merupakan bentuk terikat ditulis serangkai, sedangkan yang merupakan bentuk tak terikat ditulis terpisah.

 

 


Share link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top