Lembar Komunikasi Tahun 2009

               Penerbitan Lembar Komunikasi merupakan salah satu langkah Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah dalam melakukan pembinaan bahasa dan sastra Indonesia melalui media tulis. Lembar  Komunikasi berisi ulasan-ulasan tentang masalah kebahasaan dan kesastraan. Pada tahun 2009 Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah menerbitkan empat edisi yang dalam setiap edisinya terdiri atas dua artikel.

               Berikut judul artikel dan penulis artikel pada tiap-tiap edisi.

Edisi 1, Januari-Maret 2009

  • Proses Penyerapan Istilah dalam Bahasa Indonesia oleh Sutiyem
  • Psikiater dan Psikolog oleh Sutarsih

Edisi 2, April-Juni 2009

  • Homonimi dalam Bahasa Indonesia oleh Poetri Mardiana Sasti
  • Para Ditulis Serangkai atau Terpisah? oleh Esti Apisari

Edisi 3, Juli-September 2009

  • Contreng, Conteng, dan Centang oleh Kahar Dwi Prihantono
  • Dirgahayu oleh Inni Inayati Istiana

Oktober-Desember 2009

  • Kata Depan di, pada, dan dalam oleh Suryo Handono
  • Agar supaya dan sejak dari oleh Umi Farida

                Adapun artikel-artikel Lembar Komunikasi yang terbit tahun 2009 disajikan di bawah ini.

Edisi 1, Januari-Maret 2009

Penulis

Judul

 

Artikel

:

:

 

:

Sutiyem

Proses Penyerapan Istilah dalam Bahasa Indonesia

 

Perbendaharaan bahasa Indonesia diperkaya oleh kata serapan dari berbagai bahasa asing, misalnya dari bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Prancis, dan Arab. Kata-kata serapan itu masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui empat cara yang lazim ditempuh, yaitu adopsi, adaptasi, penerjemahan, dan kreasi.

Cara adopsi terjadi apabila pemakai bahasa mengambil bentuk dan makna kata asing yang diserap secara keseluruhan. Kata supermarket, plaza, mall, hotdog merupakan contoh cara penyerapan adopsi.

Cara adaptasi terjadi apabila pemakai bahasa hanya mengambil makna kata asing yang diserap dan ejaan atau cara penulisannya disesuaikan ejaan bahasa Indonesia. Kata-kata seperti pluralisasi, akseptabilitas, maksimal, dan kado merupakan contoh kata serapan adaptasi. Kata-kata tersebut mengalami perubahan ejaan dari bahasa asalnya (pluralization dan acceptability dari bahasa Inggris, maximaal dari bahasa Belanda, serta cadeu dari bahasa Prancis). Pedoman pengadaptasiannya adalah Pedoman Penulisan Istilah dan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang dikeluarkan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Cara Penerjemahan terjadi apabila pemakai bahasa mengambil konsep yang terkandung dalam kata bahasa asing kemudian mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata-kata seperti tumpang-tindih, percepatan, proyek rintisan, dan uji coba adalah kata-kata yang lahir karena proses penerjemahan dari bahasa Inggris overlap, acceleration, pilot project, dan try out. Penerjemahan istilah asing memiliki beberapa keuntungan. Selain memperkaya kosakata bahasa Indonesia dengan sinonim, istilah hasil terjemahan juga meningkatkan daya ungkap bahasa Indonesia. Dalam pembentukan istilah lewat penerjemahan perlu diperhatikan pedoman berikut.

  • a. Penerjemahan tidak harus berasas satu kata diterjemahkan satu kata.

Misalnya:

psychologist              →  ahli psikologi

medical practitioner →  dokter

  • b. Istilah asing dalam bentuk positif diterjemahkan ke dalam istilah Indonesia bentuk positif, sedangkan istilah dalam bentuk negatif diterjemahkan ke dalam istilah Indonesia bentuk negatif pula.

Misalnya:

inorganic       → takorganik

bound form    → bentuk terikat

  • c. Kelas kata istilah asing dalam penerjemahan sedapat-dapatnya dipertahankan pada istilah terjemahannya.

Misalnya:

merger (nomina)          →  gabung usaha

transparent (adjektiva) → bening (adjektiva)

  • d. Dalam penerjemahan istilah asing dengan bentuk plural, pemarkah kejamakannya ditinggalkan pada istilah Indonesia.

Misalnya:

master of ceremonies → pengatur acara

charge d’affaires → kuasa usaha

Cara kreasi terjadi apabila pemakai bahasa hanya mengambil konsep dasar yang ada dalam bahasa sumbernya kemudian mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Meskipun sekilas mirip perjemahan, cara terakhir ini memiliki perbedaan. Cara kreasi tidak menuntut fisik yang mirip seperti pada penerjemahan. Kata yang dalam bahasa aslinya ditulis dua atau tiga kata dalam bahasa Indonesianya boleh hanya satu kata saja atau sebaliknya, misalnya:

effective     → berhasil guna 

shuttle        → ulang alik

spare parts → suku cadang

            Bentuk-bentuk serapan dari bahasa asing yang lain adalah dari bahasa Belanda, bahasa Sanskerta, bahasa Latin, dan bahasa Arab.

Contoh serapan dari bahasa Belanda:

paal-pal                                   octaaf-oktaf

riem-rim                                  politiek-politik

Contoh serapan dari bahasa Sanskerta:

catur-caturwarga                     catur warga

sapta-saptamarga                     sapta marga

dasa-dasawarsa                       dasa warsa

Contoh serapan dari bahasa Arab:

Jihad, mujahidin, tawakal, kotbah, halal bi halal

Penulisan yang benar (yang tebal)

khalal-halal     khusus-kusus

tawaqal-tawakal                     akir-akhir                               

 

 

Edisi 1, Januari-Maret 2009

Penulis

Judul

 

Artikel

:

:

 

:

Sutarsih

Psikiater dan Psikolog

 

Dalam bidang kedokteran dikenal istilah psikiater dan psikolog. Selama ini psikiater dan psikolog dianggap bidang pekerjaan yang sama. Benarkah demikian? Berdasarkan hasil penelusuran ditemukan fakta berikut ini.

Menurut Arnold A. Lazarus dan Clifford N. Lazarus dalam Staying Sane in a Crazy World,  psikiater adalah dokter bergelar M.D. atau D.O. yang lulus dari sekolah kedokteran dan mendalami cabang ilmu pengobatan yang meliputi pencegahan, diagnosis, dan perawatan gangguan mental dan emosi. Kebanyakan dokter-tanpa melihat spesialisasinya-menjalani pelatihan yang sama di sekolah kedokteran dan praktik pascasarjana, lalu mengambil spesialisasi selama periode pelatihan tingkat tinggi yang disebut dengan residensi atau praktik kerja. Pelatihan di bidang psikiatri ini biasanya memakan waktu tiga tahun.

Karena yang utama dalam pelatihan adalah tentang kedokteran, hanya sedikit psikiater yang secara mendalam menjalani spesialisasi di bidang perawatan psikososial, dan mereka yang menjalaninya biasanya belajar tentang psikoanalisis tradisional atau metode psikodinamika. Oleh karena itu, cara pertama bagi kebanyakan psikiater dalam melakukan perawatan adalah dengan meresepkan obat, memasukkan pasien dalam terapi analisis yang panjang, atau mengombinasikan obat dan psikodinamika yang lebih singkat.

Psikolog klinis dilatih dalam bidang seni dan ilmu psikologi terapan; studi tentang pikiran manusia, emosi, perilaku, dan hubungan. Seorang psikolog klinis biasanya menyandang gelar doktor-Ph.D., Psy.D., Ed.D., atau S.Psi.-dari universitas yang terakreditasi. Ia sekurang-kurangnya memiliki dua tahun pengalaman praktik pascadoktoral dalam lingkungan klinis, dan seperti layaknya dokter ia harus mendapat izin praktik di bawah naungan hukum.

Psikolog klinis menerapkan prinsip psikologi dalam manajemen terapi mental, emosional, perilaku, dan masalah perkembangan individu dan kelompok. Mereka terlatih dalam mendiagnosa, menilai, memberikan tes psikologi, psikososial, serta metode penanggulangan. Walaupun dalam banyak kasus psikolog klinis tidak diizinkan untuk meresepkan obat, belakangan ini mereka mempelajari psikofarmakologi dan siap untuk bekerja sama dengan psikiater atau praktisi kedokteran lain pada saat pengobatan dibutuhkan.

Psikolog adalah seorang ahli dalam bidang psikologi, bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental. Psikolog dapat dikategorikan ke dalam beberapa bidang tersendiri sesuai dengan cabang ilmu psikologi yang ditekuninya. Tetapi kata psikolog lebih sering digunakan untuk menyebut ahli psikologi klinis, ahli psikologi di bidang kesehatan mental. Psikolog di Indonesia tergabung dalam organisasi profesi bernama Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI).

Sarjana psikologi yang telah mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S-1) dengan kurikulum lama (sistem paket murni) perguruan tinggi Negeri (PTN); atau sistem kredit semester (SKS) PTN; atau kurikulum nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) yang meliputi pendidikan program akademik (sarjana psikologi) dan program pendidikan profesi (psikolog); atau kurikulum lama perguruan tinggi swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang sudah mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikolog Indonesia oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI).

Profesi seorang psikolog sedikit berbeda dengan seorang psikiater yang menyelidiki penyebab gejala psikologi dari sisi kedokteran dan dari sisi kelainan susunan saraf para penderita penyakit jiwa. Jadi, pada prinsipnya seorang psikiater adalah seorang dokter yang mengambil spesialisasi penyakit jiwa. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008 dinyatakan bahwa psikiater adalah dokter yang ahli di penyakit jiwa, sedangkan psikolog adalah ahli psikologi.

Psikiater adalah profesi dokter spesialis yang bertugas menangani masalah gangguan jiwa. Berbeda dengan psikolog, seorang psikiater harus lebih dulu menamatkan pendidikan dokter umum. Gelar akademik psikiater di Indonesia adalah Sp.KJ (spesialis kedokteran jiwa) (http://wikipedia.org/wiki/Psikiater).

 

Edisi 2, April-Juni 2009

Penulis

Judul

 

Artikel

:

:

 

:

Poetri Mardiana Sasti

Homonimi dalam Bahasa Indonesia

 

Homonimi berasal dari bahasa Yunani homo dan onoma. Onoma berarti ‘nama’ dan homo berarti ‘sama’. Homonimi merupakan relasi makna antarkata yang ditulis sama dan/atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda. Sebagai contoh kata bisa yang terdapat dalam kalimat berikut.

1. Ular cobra memiliki bisa yang dapat menyebabkan kematian.

2. Aldi bisa mengerjakan semua soal ulangan.

Pada kalimat (1) dan (2) terdapat dua unsur yang sama bentuknya (baik tulisan maupun bunyinya), namun memiliki arti leksikal yang berbeda, yaitu kata bisa. Bisa  pada kalimat (1) berarti ‘racun’; sedangkan bisa pada kalimat (2) berarti ‘dapat’.

Selain homonimi ada pula bentuk homograf dan homofon. Homograf adalah dua kata atau lebih yang tulisan sama, tetapi lafal dan makna leksikalnya berbeda. Sebagai contoh adalah kata tahu yang dapat berarti (1) ‘makanan’ dan juga (2) ‘paham; mengerti’. Kata tahu merupakan bentuk homograf, yaitu kata-kata yang ditulis sama tetapi dilafalkan berbeda dan arti leksikalnya juga berbeda.  

Homofon adalah kata-kata yang dilafalkan sama tetapi cara penulisan dan arti leksikalnya berbeda. Contohnya adalah kata masa yang berarti ‘waktu’ dan massa yang berarti ‘jumlah besar yang menjadi satu kesatuan’. Kedua kata ini dilafalkan sama tapi cara penulisan dan arti leksikalnya berbeda. Contoh lain adalah kata sangsi yang berarti ‘ragu’ dan sanksi yang berarti ‘tindakan-tindakan, hukuman’, juga merupakan bentuk homofoni.

Berdasarkan proses pembentukannya, homonimi dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:

1. Homonimi yang terbentuk karena kedua kata berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan.

      Contoh: kali.

Kata kali memiliki dua makna, yaitu ‘kelipatan’ dan ‘sungai’. Kata kali yang berarti ‘kelipatan’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata kali yang berarti ‘sungai’ berasal dari bahasa Jawa. Contoh lain adalah kata abang yang berarti ‘kakak laki-laki’ berhomonim dengan kata abang yang berarti ‘merah’ yang berasal dari bahasa Jawa.

2.  Homonimi yang terbentuk karena proses afiksasi.

Afiksasi adalah proses penambahan afiks pada akar, dasar, atau alas. Dalam hal ini, pasangan homonimi terjadi karena adanya pengimbuhan pada kata dasar. Sebagai contoh adalah kata merapatkan yang berasal dari kata dasar rapat yang mendapat imbuhan me- -kan. Kata merapatkan yang pertama berarti ‘mempererat, menjadikan rapat’, sedangkan kata merapatkan yang kedua berarti ‘mengajak berapat untuk membicarakan sesuatu atau berunding’.

3.  Homonimi yang terbentuk karena penyingkatan.

Sebagai contoh adalah PBB. Singkatan PBB yang pertama merupakan kepanjangan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. PBB yang kedua merupakan singkatan dari peraturan baris-berbaris, dan yang ketiga merupakan singkatan dari pajak bumi dan bangunan.

4.  Homonimi yang terbentuk karena gejala bahasa.

Gejala bahasa dalam pembentukan homonimi meliputi gejala penambahan fonem dan gejala penghilangan fonem. Sebagai contoh adalah kata gajih. Kata gajih yang pertama dapat berarti ‘lemak’ dan gajih yang kedua berarti ‘upah kerja yang dibayar dalam waktu yang tetap’. Arti kata pertama muncul karena kata itu berasal dari kata gaji yang mendapat tambahan fonem /h/ di belakang.        

 

Edisi 2, April-Juni 2009

Penulis

Judul

 

Artikel

:

:

 

:

Esti Apisari

Para Ditulis Serangkai atau Terpisah?

 

Kata para sering kita gunakan dalam komunikasi sehari-hari. Namun, apakah penggunaannya selama ini telah kita pahami? Bagaimana penulisannya yang tepat, ditulis serangkai atau terpisah? Untuk itu, tiada salahnya jika masalah tersebut kita kupas bersama.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, sebaiknya kita kemukakan beberapa contoh kalimat yang menggunakan  kata para,yaitu:

(1) Proposal itu sudah disetujui oleh para ahli.

(2) Ia menaruh para  dalam wadah yang telah disiapkannya.

(3) Untuk menyelesaikan masalahnya ia berkonsultasi dengan paranormal.

Perhatikan kata-kata para ahli, para, dan paranormal pada contoh di atas. Penulisannya ada yang serangkai dan terpisah. Kata para pada kalimat (1) mengacu pada kata penyerta yang menyatakan kelompok, yakni kelompok ahli. Para dengan makna ini dapat digunakan untuk mengacu pada kelompok lain, seperti guru, siswa, bupati, preman, dan sebagainya. Pada kalimat (2) para bermakna ‘karet; getah (perca)’. Kemudian, pada kalimat (3) para merupakan bentuk terikat. Para pada paranormal bermakna ‘di seberang atau di atas’. Contoh-contoh di atas memperlihatkan kata para ada yang ditulis terpisah dan ada pula yang ditulis serangkai.

Mengapa para ditulis secara terpisah dan serangkai? Satu hal yang menjadi alasan mengapa ada kata para  yang ditulis secara terpisah dan ada yang serangkai adalah karena homonim. Homonim adalah kata yang sama lafal dan ejaannya tetapi berbeda maknanya karena berasal dari sumber yang berlainan. Kata para dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki enam definisi. Di atas telah disebutkan tiga definisi. Tiga definisi yang lain adalah kependekan dari parasut’; ‘prajurit dalam kesatuan angkatan udara’; dan ‘rak atau anyaman bambu untuk menaruh barang-barang’ Adanya enam kata para itu menunjukkan bahwa kata tersebut homonim, yakni mengalami gejala sama atau serupa dalam tulisan dan serupa pula dalam ejaan, namun memiliki makna yang berbeda dan tidak saling berkaitan.

Homonimi para tidak seluruhnya merupakan kata yang berdiri sendiri, ada yang berupa bentuk terikat dan ada pula yang berupa bentuk tak terikat. Seperti contoh dalam kalimat sebelumnya, para pada para ahli tidak dapat ditulis serangkai karena bukan bentuk terikat, melainkan pengacuan ke kelompok. Para yang merujuk pada suatu kelompok merupakan kata penyerta. Artinya, kata tersebut harus disertai kata yang lain dan tidak dapat berdiri sendiri, misalnya:

(4) Kami bertugas menyambut para tamu yang hadir.

Para pada kalimat tersebut tidak dapat berdiri sendiri (terikat) dan harus diikuti oleh kata yang dirujuknya. Oleh karena itu, kalimat tersebut tidak dapat diubah menjadi sebagai berikut.

(4a) Kami bertugas menyambut para yang hadir.

Kalimat itu tidak berterima karena para dalam kalimat di atas terikat dengan hal yang dirujuknya dan tidak dapat berdiri sendiri.

Berbeda halnya dengan kalimat berikut ini.

(5)  Pendamar menyimpan para dalam wadah tertutup.

Para  yang bermakna ‘getah’ dalam kalimat ini bukan bentuk terikat, melainkan kata yang dapat berdiri sendiri. Maknanya tidak berkaitan dengan para pada kalimat sebelumnya. Begitu pula halnya dengan para yang bermakna ‘parasut’, ‘prajurit’, dan ‘rak atau anyaman bambu’. Para  jenis ini juga dapat berdiri sendiri, seperti pada contoh kalimat berikut ini.

(6)  Setiap penerjun payung membawa para sebagai  perlengkapannya.

(7)  Komandan memeriksa para di barisan depan.

(8) Ia memajang barang-barang antiknya di atas para.

Ketiga contoh kalimat tersebut menunjukkan bahwa kata para merupakan kata yang dapat berdiri sendiri dan ditulis terpisah.

Berbeda halnya dengan para pada paranormal. Para jenis ini harus ditulis serangkai karena merupakan bentuk terikat. Paranormal  memiliki makna ‘tidak dapat dijelaskan secara ilmiah; orang yang mempunyai kemampuan dalam memahami, mengetahui, dan mempercayai hal-hal yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah’. Untuk itu, penulisannya harus serangkai. Selain paranormal, bentuk terikat para juga melekat pada parakardiak; paradok; dan masih banyak lagi. Itulah alasannya mengapa kata para ada yang ditulis serangkai dan terpisah. Para yang merupakan bentuk terikat ditulis serangkai, sedangkan yang merupakan bentuk tak terikat ditulis terpisah.

 

Edisi 3, Juli-September 2009

Penulis

Judul

 

Artikel

:

:

 

:

Kahar Dwi Prihantono

Contreng, Conteng, dan Centang

 

Laporan Caroline Damanik (wartawan KOMPAS.com) pada hari Rabu, 1 Juli 2009, menyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengaku akan mengganti semua media sosialisasi, seperti spanduk, leaflet, atau pun booklet yang memuat segala bentuk sosialisasi contreng pasangan capres dan cawapres. Istilah contreng dalam laporan itu menjadi sangat tenar, sebelum maupun sesudah pelaksanaan pemilu seiring dengan gencarnya sosialisasi di media massa. Pada awal sosialisasi contreng ini, pemahaman masyarakat Indonesia menjadi beragam. Masyarakat di Aceh (NAD) kurang memahami istilah contreng. Mereka lebih mengenal pemberian tanda √ pada kertas suara dengan istilah conteng. Istilah contreng juga menimbulkan kebingungan tersendiri bagi masyarakat di Kalimantan Tengah karena mereka lebih mengenal istilah centang.

Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 03 Tahun 2008 pada Pasal 26, ayat (3), butir (g), halaman 19, Keputusan KPU tertulis:

Tata cara pemberian suara pada surat suara, ditentukan : 1) menggunakan alat yang telah disediakan; 2) dalam bentuk tanda √ (centang) atau sebutan lainnya; 3) pemberian tanda √ (centang) atau sebutan lain, dilakukan satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR/DPRD provinsi/DPRD Kabupaten/Kota; 4) pemberian tanda √ (centang) atau sebutan lain dilakukan satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD; 5) tidak boleh membubuhkan tulisan dan catatan lain pada surat suara; dan 6) surat suara yang terdapat tulisan dan atau catatan lain, surat suara tersebut dinyatakan tidak sah.

Dalam peraturan  tersebut tidak terdapat istilah conteng maupun contreng, namun keterangan atau sebutan lain telah membuka ruang bagi beredarnya istilah contreng di media masa karena mungkin mereka lebih suka menggunakan istilah contreng.

Conteng

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dinyatakan bahwa kata conteng memiliki makna sebagai berikut:                                                                                                                                                                                               

con·teng /conténg/ (nomina), yang berarti coret (palit) dengan jelaga, arang, dsb.; coreng;                                               

ber·con·teng-con·teng (verba), yang berarti ‘ada conteng-contengnya; bercoreng-coreng (dengan arang, jelaga, dsb.).’ Contoh: Mukanya berconteng-conteng; Papan tulis itu berconteng-conteng dengan kapur.                               

men·con·teng (verba), yang berarti ‘mencoreng dengan arang (tinta, cat, dsb.).’ Contoh: Anak itu menconteng alisnya dengan arang; Menconteng arang di muka. (peribahasa), yang artinya ‘memberi malu.’                                          

men·con·teng-con·teng (verba), artinya ‘mencoreng-coreng (memalit-malit, mencoret-coret) dengan arang (tinta, kapur, dsb.).’ Contoh: Anak itu menconteng-conteng dinding rumah kami  

men·con·teng·kan (verba), artinya ‘mencorengkan; memalitkan.’  Contoh: Ibarat mencontengkan arang di dahi sendiri (Peribahasa).                                    

ter·con·teng (verba), memliki dua arti: 1. ‘sudah diconteng(kan)’; 2. ‘kena noda (aib, malu)’. Contoh: Terconteng arang di muka. (Peribahasa), yang artinya ‘mendapat malu.’

Berdasarkan definisi di atas, istilah conteng tidak berhubungan dengan proses pemberian tanda √ dalam pemilu.

Contreng

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dari Pusat Bahasa Depdiknas yang telah menjadi sumber rujukan, sumber penggalian ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta peradaban Indonesia tidak memuat istilah ini.

Centang

Dalam peraturan yang dibuatnya, KPU telah menggunakan istilah yang seharusnya digunakan, yaitu centang.  Kata centang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memiliki makna sebagai berikut:                                                  

cen·tang /céntang/ (nomina), yang berarti ‘tanda koreksi, bentuknya seperti huruf V atau tanda cawang.’ Jika diberi awalan /me-/ menjadi men·cen·tang (verba) yang berarti  ‘membubuhi coretan tanda koreksi (V);                       

Jika cen·tang /céntang/ dijadikan bentuk perulangan, menjadi  cen·tang-pe·re·nang (ajektiva), yang berarti ‘tidak beraturan letaknya (malang melintang dsb.); porak-parik; berantakan.’ Contoh: Segalanya centang-perenang di ruangan itu .                                                           

ke·cen·tang-pe·re·nang·an (nomina), yang berarti ‘keadaan yang centang-perentang.’ Contoh: Kecentang-perenangan dalam mengatur jadwal sering terjadi jika dilakukan terburu-buru .                                                                

KPU dalam peraturannya, telah menggunakan istilah baku yang terdapat di dalam KBBI, namun memungkinkan seseorang menggunakan sebutan lainnya. Oleh karena itu, muncullah istilah conteng dan contreng. Istilah centang merupakan istilah yang baku. Tanda centang berarti tanda √, maka  pemakaian istilah centang lebih tepat digunakan.

 

Edisi 3, Juli-September 2009

Penulis

Judul

 Artikel

:

:

:

Inni Inayati Istiana

Dirgahayu

Kata dirgahayu diserap dari bahasa Sanskerta dirgahayuh; dirgahayusa, yang berarti ‘berumur panjang’. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan Poerwadarminta, pada kata dirgahayu terdapat singkatan sl yang berarti ‘berasal dari sastra lama’, kata dirgahayu sendiri bermakna ‘semoga berumur panjang; hidup!’. Kata dirgahayu biasanya ditujukan pada negara atau organisasi yang sedang memeringati hari jadinya, misalnya Dirgahayu Republik Indonesia, ‘panjang umur Republik Indonesia’. Pengertian seperti itu juga terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dirgahayu berarti ‘berumur panjang’ (biasanya ditujukan kepada negara atau organisasi yang sedang memeringati hari jadinya). Kata dirgahayu sering digunakan untuk ungkapan selamat berulang tahun.

Sering kita menjumpai penggunaan kata dirgahayu yang salah kaprah, misalnya Dirgahayu Republik Indonesia ke-64. Berdasarkan makna dirgahayu, kalimat tersebut jelas tidak logis. Ketidaklogisan itu terungkap dari penambahan ke-64 yang pengertiannya belum jelas. Dengan penambahan ke-64, ada dua pengertian yang terkandung, yakni ke-64 menerangkan dirgahayu atau Republik Indonesia. Selain itu, penambahan ke-64 untuk menerangkan dirgahayu maupun menerangkan Republik Indonesia sama-sama tidak logis. Ketidaklogisan yang pertama terjadi karena panjang umur dinyatakan dengan ke-64. Kemudian, ada ketidakjelasan apakah ke-64 itu menerangkan ke-64 tahun atau ke-64 hari. Ketidaklogisan yang kedua terjadi karena berdasarkan ungkapan itu ada 64 buah Republik Indonesia. Hal itu berarti masih ada 63 RI lagi, padahal Republik Indonesia hanya satu, yakni yang kita rayakan itu. Dengan demikian, ungkapan tersebut selain tidak logis juga termasuk taksa (ambigu) atau bermakna ganda.

Hal lain yang perlu dicermati adalah penambahan hari ulang tahun (HUT) setelah dirgahayu, misalnya, Dirgahayu HUT RI ke-64. Penambahan itu juga tidak logis. Kalimat Dirgahayu HUT RI berarti HUT RI-lah yang diharapkan berumur panjang, bukan RI atau Kemerdekaan RI.  Padahal HUT tidak mungkin berumur panjang karena masanya hanya satu hari. Yang dapat kita ucapkan berumur panjang adalah Republik Indonesia. Jadi, ungkapan yang tepat adalah Dirgahayu Republik Indonesia.

Pada kesempatan lain, ungkapan yang dimunculkan adalah HUT Kemerdekaan RI ke-64. Kalimat tersebut dapat diartikan bahwa RI merdeka sudah 64 kali, kemerdekaan yang ke-64 itulah yang diperingati. Apabila ke-64 akan digunakan, penempatannya harus tepat. Ada dua pilihan penempatannya, yakni Hari Ulang Tahun ke-64 Republik Indonesia (HUT ke-64 RI) atau Ulang Tahun ke-64 Republik Indonesia. Pada kedua contoh tersebut ke-64 menjelaskan unsur HUT atau ulang tahunnya. Penulisan angka 64 dapat juga digunakan dengan angka Romawi, LXIV, tetapi tanpa diberi awalan ke- karena angka Romawi sudah menyatakan bilangan tingkat.

Selain ungkapan di atas, ada pilihan lain yang dapat digunakan untuk menyatakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu sebagai berikut:

Dirgahayu Negara Kita

Dirgahayu RI

HUT ke-64 RI

HUT LXIV RI

Selamat Ulang Tahun ke-64 Republik Indonesia

Peringatan Ulang Tahun LXIV Republik Indonesia.

 

Edisi 4, Oktober-Desember 2009

Penulis

Judul

 

Artikel

:

:

 

:

Suryo Handono

Kata Depan di, pada, dan dalam

 

Dalam tindak berbahasa, kata depan di, pada, dan dalam sering digunakan secara tidak tepat. Ketiga kata depan itu sering dikacaukan penggunaannya. Tempat yang seharusnya diisi dengan kata depan pada, misalnya, sering diisi dengan kata depan di; atau tempat yang seharusnya diisi oleh kata depan di sering pula diisi dengan kata depan dalam. Padahal, ketiga kata depan itu sebenarnya memunyai pengertian atau makna yang berbeda. Ketidaktepatan penggunaan kata depan itu dapat dilihat pada contoh kalimat berikut ini.

(1)     Dalam dunia persepakbolaan Indonesia, pemain muda itu memunyai prospek yang bagus di masa yang akan datang.

Pada kalimat di atas terdapat penggunaan pasangan kata  di masa. Kata masa, yang berarti ‘saat’, merupakan kata yang menyatakan waktu atau penunjuk waktu, sedangkan kata depan di merupakan kata depan yang menyatakan tempat, bukan penunjuk waktu. Dengan demikian, pengunaan pasangan kata di dan masa pada kelompok kata di masa tidak tepat. Kata depan yang tepat digunakan di depan kata masa adalah kata depan yang juga menyatakan waktu, yaitu kata depan pada, sehingga pasangan itu menjadi pada masa. Sejalan dengan itu, kalimat contoh tadi akan lebih tepat jika diperbaiki menjadi seperti berikut.

(1a)   Dalam dunia persepakbolaan Indonesia, pemain muda itu memunyai prospek yang bagus pada masa yang akan datang.

Kekeliruan yang serupa dengan pasangan kata di masa (yang seharusnya pada masa) juga terjadi pada kata-kata lain yang menyatakan waktu, seperti pasangan kata berikut ini.

di kesempatan ini 

di hari Minggu 

di tahun lalu

 di bulan Agustus

di abad modern

di era globalisasi.

Kata atau kelompok kata yang dipasangkan dengan kata depan di tersebut semuanya menyatakan waktu, bukan tempat. Oleh karena itu, akan lebih tepat jika kata depan yang digunakan juga kata yang menyatakan waktu, yaitu pada. Dengan demikian pasangan kata itu lebih tepat jika diubah menjadi 

pada kesempatan ini 

pada hari Minggu

pada tahun lalu

pada bulan Agustus

 pada abad modern

 pada era globalisasi.

Bagaimana dengan kata depan di? Kata apa yang dapat dipasangkan dengan kata depan itu? Seperti telah dinyatakan di muka bahwa kata depan di merupakan kata depan yang menyatakan tempat. Oleh karena itu, kata yang dapat dipasangkan dengan kata depan itu pun harus kata yang menyatakan tempat, seperti di Semarang, di kantor, di radio, di televisi, di sekolah, di dalam, di luar, di atas, di samping, dan di antara.

Berbeda dengan kata depan di, kata depan dalam juga digunakan untuk menyatakan makna ‘tempat’, namun lebih khusus, yaitu ‘tempat yang memiliki ruang’, seperti peti, lemari, ruangan, kamar. Untuk lebih jelasnya dapat disimak pada contoh pemakaiannya dalam kalimat berikut ini.

(2)     Barang itu tersimpan dalam peti.

(3)     Pusaka peninggalan kakek dikumpulkan dalam lemari.

(4)     Dilarang merokok dalam ruangan yang ber-AC.

(5)     Bau harum itu berasal dari dalam kamar.

Selain penggunaan seperti di atas, kata depan dalam juga dapat digunakan untuk menyatakan makna ‘sesuatu yang dianggap memiliki ruang’, seperti pasangan kata berikut ini.

dalam hati

dalam mimpi

dalam buku

dalam kehidupan sehari-hari

Dengan uraian singkat tentang penggunaan kata depan di, pada, dan dalam diharapkan penggunaan ketiga kata depan itu dapat dilakukan secara cermat. Kecermatan penggunaan unsur-unsur kebahasaan menunjukkan kecermatan dalam menata gagasan sehingga informasi yang disampaikan dapat dipahami secara tepat pula.

 

Edisi 4, Oktober-Desember 2009

Penulis

Judul

 

Artikel

:

:

 

:

Umi Farida

Agar supaya dan sejak dari

 

Gabungan preposisi agar supaya dan sejak dari sering kita temukan dalam pemakaian sehari-hari, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Pernah dalam suatu wawancara di televisi, seorang pakar berbicara:

“Saya mengatakan seperti ini agar supaya masalah dapat cepat diselesaikan.”

“Kami berharap masyarakat tetap tenang menghadapi masalah ini agar supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

Pemakaian gabungan preposisi agar supaya dalam dua kalimat tersebut tidak perlu karena dua preposisi tersebut memiliki fungsi yang sama, yakni sama-sama kata penghubung yang berfungsi untuk menandai tujuan atau harapan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa agar (partikel) adalah kata penghubung untuk menandai harapan; supaya. Contohnya, Ia sebaiknya minum obat agar lekas sembuh. Adapun supaya (partikel) adalah kata penghubung untuk menandai tujuan atau harapan; mudah-mudahan sampai pada maksudnya; hendaknya; agar. Contoh kalimatnya adalah Baju yang sudah dicuci perlu dijemur supaya kering; Ia harus rajin belajar supaya lulus ujian. Dua preposisi tersebut dapat saling menggantikan, misalnya Ia sebaiknya minum obat supaya lekas sembuh atau Ia harus rajin belajar agar lulus ujian. Dengan demikian, penggunaan gabungan preposisi agar supaya dalam kalimat yang diucapkan oleh pakar tadi adalah pemborosan kata. Oleh karena itu, agar kalimat menjadi efektif gabungan preposisi itu seharusnya dihilangkan salah satu. Kalimat menjadi efektif jika diubah seperti kalimat berikut ini.

“Saya mengatakan seperti ini agar masalah dapat cepat diselesaikan.”

“Kami berharap masyarakat tetap tenang menghadapi masalah ini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

atau

“Saya mengatakan seperti ini supaya masalah dapat cepat diselesaikan.”

“Kami berharap masyarakat tetap tenang menghadapi masalah ini supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

Seperti halnya preposisi agar supaya, preposisi sejak dari juga termasuk gabungan preposisi yang tidak efektif dan tidak semestinya. Preposisi sejak dan dari juga memiliki arti dan fungsi yang hampir sama, hanya memiliki beberapa perbedaan dalam konteks-konteks kalimat tertentu yang tidak bisa saling menggantikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa sejak (partikel) adalah kata penghubung untuk menandai mulai dari; dari. Contohnya, Sejak kecil aku tinggal di Semarang; Sekarang pegawai Balai Bahasa dapat menikmati internet dengan bebas sejak adanya hotspot. Preposisi dari (partikel) adalah kata depan yang menyatakan tempat permulaan (dalam ruang, waktu, deretan, dsb.), misalnya, Aku membaca buku itu dari halaman 10-50; Ia berangkat naik kereta dari Semarang menuju Jakarta. Kata dari juga berarti sejak; mulai. Misalnya, Dari dulu dia susah diperingatkan. Selain itu, kata dari menyatakan asal kedatangan, misalnya Ia datang dari Bandung; Santi sudah menerima surat dari ayahnya. Preposisi dari juga memiliki arti oleh karena; disebabkan oleh; hal itu dilakukannya dari kemauannya sendiri; tentang; mengenai; asal bahan suatu barang; ‘yang berupa’ atau ‘yang terjadi’; perbandingan; pencegahan, pemisahan, pemindahan; melalui, melewati.

Berdasarkan hal tersebut, preposisi sejak dan dari dalam kalimat dapat saling menggantikan karena keduanya memiliki arti dan fungsi yang hampir sama. Misalnya dalam kalimat berikut ini.

*Sejak dari kecil ia sudah terbiasa mandiri.

Kalimat tersebut akan efektif bila diubah menjadi kalimat berikut.

Sejak kecil ia sudah terbiasa mandiri.

Dari kecil ia sudah terbiasa mandiri.

Dalam beberapa konteks kalimat tertentu kata dari tidak bisa digantikan oleh kata sejak, tetapi dalam konteks-konteks kalimat seperti itu jarang ditemukan gabungan preposisi sejak dari. Seperti dalam kalimat berikut ini.

Tas itu terbuat dari kulit buaya.

*Tas itu terbuat sejak kulit buaya.

Ia datang dari pintu depan.

*Ia datang sejak pintu depan.

Santi sudah menerima surat dari ayahnya.

*Santi sudah menerima surat sejak ayahnya.

Kemungkinan besar orang menggunakan gabungan preposisi sejak dari karena terpengaruh adanya preposisi sedari. Orang menganggap preposisi sedari berasal dari gabungan preposisi sejak dari. Padahal, preposisi sedari ada sendiri yang memiliki arti sama dengan preposisi sejak.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Kembali ke Atas