Penyusunan Kliping Tahun 2009

             Penyusunan kliping Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah bertujuan untuk menyimpan, melestarikan, dan menyebarluaskan berbagai artikel tentang bahasa, sastra, maupun seni dan budaya.

              Pengklipingan disusun berdasarkan sistem ordnere, yaitu sistem penyusunan artikel atau berita, yang berdasarkan subyek pembidangan tanpa memerhatikan judul surat kabar maupun kronologi waktu terbitnya. Kliping yang disusun terdiri atas tiga subyek pembidangan, yaitu kliping bahasa, kliping sastra, dan kliping budaya yang dijilid berdasarkan subyeknya masing-masing. Artikel, berita, dan gagasan tentang bahasa, sastra, dan seni dan budaya tersebut diperoleh dari mengunduh laman Suara Merdeka, Kompas, Jawa Pos, dan Solo Pos di internet dari bulan Februari sampai dengan bulan November 2009.

               Pengklipingan dilakukan oleh tenaga-tenaga teknis dan administrasi Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah sesuai dengan program yang telah direncanakan pada tahun anggaran 2009. Laporan pengklipingan diharapkan mampu menunjang pemenuhan keperluan informasi tentang bahasa, sastra, maupun seni dan budaya bagi masyarakat.

Berikut contoh kliping bahasa, sastra, dan budaya yang diunduh dari beberapa surat kabar.

Kategori

Judul

Penulis

Sumber

 

 

Artikel

:

:

:

:

 

 

:

Kliping Bahasa

Bahasa Kampanye

Joko Widodo

Solo Pos, 12 Maret 2009, Hal.XII http://www.solopos.co.id:81/zindex_menu.asp?kodehalaman=h62&id=264022

Diunduh tanggal 12 Maret 2009

 

Pemilihan calon legislatif tidak terasa akan dilaksanakan kurang dari satu bulan lagi. Terkait dengan hal itu, banyak kita jumpai pamflet, iklan ataupun spanduk wahana kampanye Caleg yang terpampang di berbagai tempat.

Misalkan di pinggir jalan, taman dan pusat keramaian lainnya. Kalau kita perhatikan dalam spanduk Caleg tersebut, selain gambar sang Caleg, juga terdapat kalimat-kalimat orasi yang terpampang dengan jelas. Di sini penulis mencoba memaparkan kalimat yang diambil dari spanduk salah satu Caleg, yaitu “Mari bersama kita bisa membangun Kabupaten X bersama wong desa, seka desa balik neng desa” dan juga “Ayo kita dukung Mr X dalam Pemilu legislatif.”

Dari dua kalimat persuasif di atas dapat kita ketahui kalimat tersebut mempunyai nilai komunikatif yang dapat menyugesti setiap orang yang membacanya. Jika boleh kita sedikit mengidentifikasi, kalimat seperti di atas dilihat dari aspek fungsi, dapat kita sebut sebagai kalimat imperatif atau lebih kita kenal dengan kalimat “suruh”. Lebih jauh kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia dikenal mempunyai makna pragmatik imperatif ajakan.

Kalimat yang mempunyai makna-makna pragmatik imperatif ajakan biasanya digunakan bersama penanda kesatuan “ayo”, “mari”, “coba”, “mohon”, “harap”, dst. Misalkan pada kalimat “Mari bersama kita bisa membangun Kabupaten X bersama wong desa, seka desa balik neng desa”. Kalimat ini mengandung kata “mari”, jadi jelaslah mengandung imperatif ajakan dengan konteks tuturan; Dituturkan oleh salah satu calon legislatif yang berasal dari desa dengan harapan setiap orang yang membacanya (orang desa), nanti ketika Pemilu berlangsung akan memilihnya. Kini jelaslah bahwa salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat mengadakan kontrol sosial (Gorys Keraf), di mana bahasa itu dapat digunakan sebagai alat untuk memengaruhi tingkah laku dan tindak-tanduk orang-orang lain. – Oleh : Joko Widodo Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah UNS

 

Kategori

Judul

Penulis

Sumber

 

 

 

Artikel

:

:

:

:

 

 

 

:

Kliping Bahasa

Bahasa Sunda Tempati Tingkat Ketiga

JY

Kompas, Senin, 2 November 2009 | 12:38 WIBHome/Oase/Mata Air

http://oase.kompas.com/read/xml/2009/11/02/12384646/bahasa.sunda.tempati.tingkat.ketiga

Diunduh 5 November 2009

 

BANDUNG, KOMPAS.com–Bahasa Sunda, sama dengan bahasa daerah lainnya, berada dalam level ketiga dalam penggunaan bahasa dunia, sehingga banyak siswa yang menganggap mata pelajaran bahasa daerah Jawa Barat ini, kurang menarik untuk dipelajari.

Dalam komunikasi internasional, kata dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Safrina, di Bandung, Jumat,  bahasa yang banyak digunakan adalah bahasa Inggris. Untuk komunikasi tingkat nasional, adalah bahasa nasional, dan untuk komunikasi di daerah adalah bahasa daerah setempat.

“Karena itu, tidak bisa disangkal lagi kalau banyak siswa yang menganggap mata pelajaran bahasa Sunda itu kurang menarik, karena adanya pada level ke tiga,” katanya.

Untuk mengubah anggapan tersebut, menurut dosen bahasa Inggris ini, guru bahasa Sunda harus pandai-pandai menyiasati agar siswa bisa tertarik oleh bahasa yang kini dilindungi dan diakui Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ini.

Caranya, menurut Safrina, dalam menyampaikan mata pelajaran bahasa Sunda guru yang bersangkutan harus berupaya agar siswa merasa tertarik kepada gurunya dulu, tidak perlu memaksakan agar siswa dapat tertarik oleh mata pelajaran tersebut.

“Buatlah anak didik kita ini tertarik dulu kepada kita, baru setelah itu kita sampaikan mata pelajaran bahasa Sunda, yang menurut mereka kurang menarik itu, dengan cara yang menarik pula,” kata Safrina.

Sama halnya dengan Safrina, guru bahasa Sunda SMP Negeri 13 Bandung, Cece Hidayat, menyarankan agar guru bahasa Sunda kreatif dalam menyampaikan mata pelajaran ini kepada sisawanya.

Berdasarkan pengalamannya, Cece mengatakan, selain secara formal di dalam kelas, mata pelajaran bahasa Sunda juga perlu disampaikan di luar kelas, misalnya mengajak siswa ke perpustakaan atau menonton pergelaran teater berbahasa Sunda.

Begitu pula dalam berbicara, kata Cece, siswa jangan terlalu diikat oleh undak usuk basa (tingkatan penggunaan kata dalam bahasa/istilah dalam tata bahasa Sundatata) Sunda dulu.

“Biarkan saja mereka berbicara dengan lawan bicaranya dalam bahasa Sunda yang sederhana, jangan menyalahkan mereka saat ada undak usuk basa yang salah penempatannya,” demikian Cece.

Editor:jodhi
Sumber : Ant

 

Kategori

Judul

 Penulis

Sumber

 

 

 

 Artikel

 

:

:

:

:

 

 

 

:

Kliping Sastra

Membahas Buku Kumpulan Cerita Romantis dan Lucu, kepada Cinta “Kisah Surat Asmara”

Aul/Kkn

Jawa Pos, 2 Februari 2009, Deteksihttp://www.jawapos.co.id/deteksi/index.php?act=detail&nid=49848

Diunduh tanggal 2 Februari 2009

 

 

Sudut ruangan kafe Matchbox tiba-tiba mendadak menjadi romantis. Nyala api lilin bergoyang lembut ke kiri dan ke kanan. Embusan angin semilir merasuki jiwa para peserta bookclub hari ini.

Adityo Budi, Anisa Shabrina, Nadia Puspita, Junaidi Abdillah, dan Zidni Ardhiana, lima bookaholic, kini tertegun. Mereka tiba-tiba saling pandang dan memulai diskusi romantisnya tentang surat cinta. Bagi mereka, surat cinta adalah media paling mudah mengungkapkan cinta.

Diskusi bookclub kali ini memang membahas tentang esensi surat cinta. Sesuai buku yang diangkat, Kepada Cinta, karya Gagas Media. Buku itu berisi kumpulan 25 pemenang lomba mengirimkan surat cinta. Plus, surat-surat cinta karya penulis Gagas Media. Kelima peserta diskusi sangat menikmati romantika surat-surat cinta yang tertulis di buku tersebut.

Zidni Ardhiana, misalnya. Bagi dia, surat cinta adalah sarana yang paling tepat sekaligus paling tidak tepat bagi seseorang yang mengungkapkan cinta. “Iya kalau yang diungkapkan itu benar-benar tulus apa adanya. Kalau nggak? Bisa ketipu dong kita. Kan waktu surat itu ditulis, kita nggak tahu gimana ekspresi pengirimnya,” tutur cewek berjilbab itu.

Anisa Shabrina menimpali. “Ya nggak bisa gitu juga sih. Soalnya, kan dalam tulisan itu terkandung sejuta makna kata cinta yang nggak bisa terungkap lewat ucapan. Makanya, diungkapkan lewat tulisan. Kalau menurutku sih, surat cinta adalah media paling jujur buat ungkap cinta,” tutur Ina, sapaan Anisa Shabrina. Wah, beda pendapat nih.

Ina menambahkan, surat cinta bisa diabadikan. Ungkapan hati yang tertulis menjadi bukti nyata sebuah pernyataan cinta. Ina mengibaratkannya dengan pepatah latin, verba volant scripta manen. Arti dari ungkapan ini adalah yang tertulis akan abadi, yang terucap akan mengabur.

Nadia Puspita yang sedari tadi diam kini mulai angkat suara. Cewek yang akrab disapa Popy ini setuju dengan Ina. Dia menganggap surat cinta adalah media paling keren mengungkap rasa.

“Aku pernah dikirimin surat cinta sama cowok. Sayang, aku nggak tahu siapa pengirimnya. Di sana cuma ditulis, pemuja rahasiamu, Mr A, gitu,” cerita Popy.

Bagi Popy, membaca Kepada Cinta mengingatkannya pada satu hal. Yaitu, surat cinta yang dulu pernah diterimanya. “Kayaknya dari dulu sampai sekarang, surat cinta tuh isinya ya gitu-gitu aja ya. Nggak pernah berubah,” ujarnya.

Kedua cowok di antara mereka mulai terusik. Yang sedari tadi geleng-geleng mendengar curhatan para cewek mulai urun pendapat. Dimulai dari Adityo Budi terlebih dahulu.

Pelajar SMAN 1 itu mengatakan banyak belajar dari surat cinta. Dia malahan sekarang kapok mengirimkan surat cinta. “Aku pernah ngirim surat cinta ke cewek. Kayaknya dia senang banget. Lha, pas aku beranikan diri buat ngobrol langsung, eh dia nggak percaya kalau itu buatan aku. Repot juga kalau kayak gini,” tuturnya.

Pelajaran lain dipetik Junaidi Abdillah dari buku Kepada Cinta. Adit jadi punya banyak inspirasi untuk menulis surat cinta. “Cocok banget kalau dipakai PDKT. Hmm, kayaknya kalau aku membuat surat cinta, harus sering-sering buka buku ini deh. Top abis bukunya,” tuturnya. (aul/kkn)

 

Kategori

Judul

Penulis

Sumber

 

 

Artikel

:

:

:

:

 

 

:

Kliping Sastra

Karya Sastra Indonesia Belum Sentuh Jiwa

Ant/CN08

Suara Merdeka, 01/08/2009 20:40 wib – Nasional Aktual
http://www.suaramerdeka.com/

Diunduh 1 September 2009

 

Jakarta, CyberNews. Anggota DPR-RI dari Partai Golkar Ferry Mursidan Baldan menyayangkan karya sastra yang dilahirkan para tokoh budaya dan sejarawan seakan-akan belum menyentuh jiwa bagi generasi muda hingga saat ini.


“Cukup banyak karya sastra kita yang dilahirkan para novelis dan memberi makna bagi kehidupan manusia, namun tidak bisa berlangsung lama karena kurangnya dukungan dan perhatian pemerintah,” katanya saat menghadiri bedah buku sastra klasik “Salah Pilih” dan “Habis Gelap Terbitlah Terang” di Jakarta, Sabtu.


Menurut Ferry, kegiatan bedah buku seperti ini diharapkan akan memberi nilai positif bagi kemajuan dan perkembangan sastra di Tanah Air.


Ia mengatakan, timbul tenggelamnya kehidupan dan kebudayaan sastra di Tanah Air, bukan karena disebabkan ketidakmampuan para sastrawan menciptakan inovasi budaya, tetapi komitmen pemerintah untuk mengembangkan dan melestarikan kebudayaan di Indonesia tidak serius dan hanya setengah hati.


“Saya yakin dengan terobosan baru yang dimotori para ‘infotaiment’  bekerjasama dengan para artis dan pemerhati masalah kebudayaan, industri sastra dan termasuk hasil karya-karya sastra yang dilahirkan para novelis lama bisa dihidupkan kembali,” katanya.


Dikatakannya, dengan mencintai sastra dan budaya bangsa sendiri maka akan memberi nilai positif bagi kemajuan dunia sastra di Tanah Air. Hal senada diungkapkan Fadly Zon, politisi muda yang mempunyai komitmen terhadap dunia sastra. Ia mengharapkan agar karya-karya satra lama bisa digali kembali untuk melahirkan cerita-cerita yang menarik bagi industri perfilemen di Tanah Air.

 

“Cukup banyak, hasil karya yang diciptakan para sejarawan dan budayawan seperti Nur Sutan Iskandar, Taufik Ismail, Marah Rusli, Abdoel Moeis, Arminj Pane, Chairil Anwar dan Merari Siregar, yang bila digali kembali akan memberi kemajuan bagi dunia perfilemen di Indonesia.

 

 

Kategori

Judul

Penulis

Sumber

 

 

Artikel

:

:

:

:

 

 

 :

Kliping Budaya

Ndhudhah Bedhayan ing Wujud Arsitektural Raga

Pra

Solo Pos, 2 April 2009, Hal. Dhttp://www.solopos.co.id:81/jajawa/keluaran.asp?id=11481

Diunduh tanggal 6 April 2009

 

Kawitane saka beksan bedhaya. Linambaran krenteg kanggo ngracik beksan sing asipat tanpa wates, nanging tetep adhedhasar bedhaya lan netepi paugeran mungguh, Nuryanto kasil ngripta Arsitektural Tubuh lan dibabar ing Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, sawetara dina kapungkur.

Racikan beksan lelandhesan bedhaya iki kasil nuduhake obah mosiking raga sing tanpa wujud, tanpa pathokan. Dene para pambeksane kabeh priya. Beda kalawan bedhaya sing kabeh wanita. Kacihna para pambeksa priya ing beksan karyane Nuryanto iki uga kasil mbabar obah mosiking raga sing sarwa alus, kadidene para wanita nalika maragani beksan bedhaya.

Miturut Nuryanto, sing wus wola-wali mbabar kawegigane ing manca negara iki, ketrampilan lan kawegigane ing seni beksan pancen kawiwitan kanthi gladhen lan nyinau beksan tradhisi Jawa.

Ing beksan tradhisi Jawa, mligine bedhayan, kabeh obah mosiking raga ora mung wates obah nanging uga ngamot tapsiran-tapsiran tinamtu. Hamula kuwi ing beksan tradhisi Jawa ana paugaren kang asipat baku kang ngatur kabeh obah mosiking raga.

Tumrap pawongan-pawongan tinamtu, racikan beksan lan gendhing pangiring ing bedhaya krasa nuwuhake daya kang kuwawa merbawani swasana alam sakiwa tengene. Miturut mitos, kayadene Bedhaya Anglirmendung, kuwawa nekakake mendhung kang wusana dadi udan ing sakupenge papan dibabare beksan bedhaya iki.

Racikan beksan karyane Nuryanto iki, sing dikarepake minangka tugas akhir penciptaan seni ing Program Pascasarjana ISI Solo, werdine ora liya kanggo nuduhake yen antarane priya lan wanita kuwi bisa dadi paraga ing kabeh wujud beksan. Pancen akeh pepalang kang asipat ragawiyah.

Obah mosiking raga pambeksa sing kawitane lelandhesan beksan klasik Jawa bedhayan, wusana bisa lumaku kadidene iline banyu, dadi obah kang tanpa aran. Lan tebane, obah mosiking raga pambeksa ing racikan beksan iki nuduhake yen subyek lan obyek ing sawijining beksan kuwi ora liya ragane pambeksa dhewe.

Arsitektur raga ngambah papan lan wektu kang beblese ing racikan obah mosiking raga kang sugih tapsiran. Sakeplasan bisa ditegesi minangka patung, nanging ngandhut perbawa kang asipat lembut, mili kadidene banyu lan kebak daya.

“Racikan beksan iki pancen wujud dhudhahan kang prasaja. Kawitane saka pambeksa ing beksan tradhisi Jawa sing nyoba ngluwari dhiri saka norma sopan santun paugeran beksan tradhisi Jawa tumuju obah mosiking raga kang lelandhesan improvisasi. Improvisasi-ne dhewe tansah dijumbuhake karo iringan musik, sing arupa gamelan utawa orkestrasi musik asil budaya musik ing negara kulonan,” piterange Nuryanto lumantar andharan tinulise.

Pambeksa sing nganggo samparan nuduhake ciri yen racikan beksan iki pancen lelandhesan beksan bedhaya. Samparan sing nglembreh dawa nuwuhake perbawa kadidene garis-garis sing tanpa wates, kepara uga nembus wates. Maneka wujud obah mosiking raga pambeksa lan maneka rupa gegambaran garis abstrak sing rapet, njepit, nyampur utawa pating plalang kasil nuwuhake racikan kang ngandhut perbawa mligi. Lan kabeh kuwi mau sing ngracik arsitektural raga. ::pra::

 

Kategori

Judul

Penulis

Sumber

 

 

Artikel

:

:

:

:

 

 

:

Kliping Budaya

Tirakat untuk Bisa Selamat

Sendang Mulyana

Suara Merdeka, 23 Agustus 2009 | 11:22 wib, Pamomong

http://www.suaramerdeka.com/

Diunduh 1 September 2009

 

SEBAGIAN masyarakat Jawa menganggap puasa Ramadan berbeda dari puasa Jawa. Bila ingin menggembleng diri, yang dilakukan adalah bermacam-macam laku tirakat, biasanya juga disebut puasa atau pasa, misalnya pasa mutih, ngrowot, patigeni, ngebleng 40 hari 40 malam, dan sebagainya. Biasanya disesuaikan dengan tujuan, baik yang bersifat sekadar olah kanuragan maupun rasa-spiritual.

 

Puasa, tirakat, atau jenis laku lain yang asketik sebenarnya adalah laku personal-spiritual yang tidak mudah dinilai dan dibandingkan tingkat keberatannya. Masing-masing ada aturan mainnya, serta terpulang pada niat dan tujuannya. Berat-ringannya laku spiritual itu  bergantung pada kebulatan tekad sejak awal.


Fenomena saat ini, banyak orang suka membentur-benturkannya, padahal yang suka membentur-benturkannya itu justru tidak menjalankan keduanya. Puasa Ramadan tidak dilakukan, tirakat bermacam-macam juga lewat. Pilih yang paling ringan dan enak. Maka, para pinisepuh menilai, generasi sekarang adalah generasi cengeng yang suka menerabas dalam mencapai tujuan. Benar atau tidak, ungkapan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan introspeksi.


Fenomena saat ini, nuansa puasa didominasi keriuhan lahir daripada kekhusyukan batin. Memang kita perlu berbangga, budaya menyemarakkan Ramadan di negeri kita lebih hebat daripada di Timur Tengah. Akan tetapi, keriuhan, kesemarakan, dan kemuliaan itu tentu lebih indah bila linambaran semangat zikir dan tirakat, bukan semangat rutinitas menjalankan syariat.

Ujian

Pada waktu ingin berguru pada Sunan Bonang, Raden Said disuruh untuk menunggui sebuah tongkat di pinggir kali. Ia harus tirakat, tidak boleh minum bila tak ada minuman yang iseng ke bibirnya, tidak boleh makan bila tak ada makanan yang hinggap sendiri ke tenggorokannya, dan pantangan lain yang tidak ringan.


Raden Said sukses menjaga tongkat itu sampai tubuhnya dililit semak-belukar. Kesetiaannya yang luar biasa menjaga tongkat di pinggir kali menjadikan Sunan Bonang bersedia mengangkatnya sebagai murid kinasih, dan Raden Said mendapatkan julukan baru Sunan Kalijaga.

Cerita rakyat tentang Sunan Kalijaga itu sudah sangat populer di masyarakat Jawa. Kecerdasan, kesaktian, kebijaksanaannya meramu ajaran dogmatis dengan nilai-nilai budaya bercampur-baur dengan mitos. Geertz memandang Sunan Kalijaga berhasil menjadi ikon spiritual Islam Jawa.
Berbeda dari masyarakat yang suka mengedepankan mitos daripada mengurai tanda, Pramudya Ananta Toer dalam novel Arus Balik justru menafsirkan simbolisme dalam cerita asal-muasal nama Sunan Kalijaga sebagai “penjaga Khalik”. Artinya, penjaga nilai ketauhidan, keesaan dan kemahakuasaan Tuhan. Ia dipandang sebagai orang yang konsisten, istikamah, pada tugas keulamaannya.

Intinya adalah diperlukan pembelajaran dan penempaan diri yang kuat untuk bisa menjadi manusia hebat. Dengan demikian, tidak ada faedahnya saling mendiskreditkan satu sama lain yang hanya menghabiskan energi. Puasa Ramadan hakikatnya dapat dikatakan juga sebagai laku tirakat karena sifatnya yang sangat personal. Pada jenis ibadah ini, malaikat tidak ikut campur tangan memberikan penilaian, tidak sibuk mencatat, urusan puasa sangat eksklusif, yakni langsung dengan Tuhan.


Puasa dan tirakat adalah momentum menguji diri. Dalam menguji diri itu tidak diperlukan dewan juri dan tim pengawas yang menakut-nakuti. Suara hati benar-benar menjadi mahkamah paling tinggi. Uniknya, justru saat ujian itu, menjadi kesempatan terindah untuk bermesraan dengan Tuhan, sumber segala gerak dan pemilik segala kekuatan. 


Siasat

Pada saat jadi presiden, BJ Habibie dikecam para kritikus gara-gara berkomentar agar masyarakat berpuasa sebagai salah satu solusi menghadapi krisis yang mendera Indonesia. Ia dianggap telah menyabot peran ulama karena  tugas pemerintah mestinya adalah membuat formulasi kebijakan strategis untuk mengatasi krisis, bukan khotbah.


Sebenarnya, Habibie berkata jujur. Ia bercermin dari sejarah kehidupannya sendiri. Pada masa sekolah ia suka berpuasa karena keterbatasan dana. Pada saat berkomentar itu, mungkin ia mengalienasikan asumsi bahwa belajar itu perlu makanan bergizi, fasilitas yang memadai, untuk dapat menyerap ilmu dengan baik. Dengan cara berpuasa, banyak tirakat, yang mungkin dianggap konvensional, nyatanya, ia bisa menjadi profesor dan presiden.


Anak sekolah harus berani tirakat, itu doktrin zaman dulu. Penggemblengan rasa dan mentalitas dikedepankan ketika seseorang berguru. Pemanjaan makan dan fasilitas justru akan menghasilkan kebebalan. Pandangan itu tentu tidak bisa ditelan mentah-mentah di era sekarang. Akan tetapi, memadukan pandangan modern dengan nilai-nilai lama  yang konstruktif perlu dilakukan. 

Penyediaan fasilitas yang memadai dan makanan yang bergizi ditambah dengan penggemblengan mental yang baik, misalnya berpuasa atau jenis tirakat lain akan dapat menghasilkan generasi yang benar-benar tahan-banting. Fenomena sekarang sungguh sangat menyedihkan. Kenakalan, bahkan kebejatan moral, justru sebagian besar dilakukan oleh manusia-manusia yang makan sekolahan. Informasi dari Badan Narkoba Nasional, sebagian besar pengguna narkoba adalah mahasiswa dan anak-anak sekolah.


Bagaimana halnya dengan berpuasa dengan niat menyiasati keadaan, ngirit, berhemat untuk dapat bertahan, atau lebih halus lagi mengelola perekonomian diri?


Sudah dapat diprediksi, setelah pesta demokrasi pasti harga-harga akan berlomba-lomba merangkak naik. Para politisi telah berhasil mencapai tujuan, tak perlu lagi menebar rayuan, tak penting lagi berstrategi merebut hati, menaikkan harga-harga terasa sangat ringan. Ditambah lagi momentum  bulan Ramadan dan menjelang hari raya menjadi penyulut naiknya harga-harga.
Dalam kondisi seperti itu, berpuasa dengan niat pertahanan tentu bukan kenaifan. Sengaja lapar dan benar-benar lapar karena tak ada yang dimakan memang berbeda. Akan tetapi, lapar bukan tujuan berpuasa. Sengsara tentu bukan tujuan tirakat. Penghayatan atas lapar memunculkan energi luar biasa untuk mengenal diri dan peduli pada sesama.


Berpuasa karena ketidakberdayaan tidak mengurangi nilai keikhlasannya. Tuhan membuka pintu lebar-lebar bagi hamba-Nya untuk berpamrih pada-Nya. Siapa tahu dengan tirakat, berpuasa, Tuhan sudi memberikan rahmat berlimpah di kemudian hari. Bandingkan dengan penggunaan logika berlebihan, misalnya  karena miskin lantas tidak mau berpuasa. Miskin dijadikan alasan untuk menanggalkan perintah. Energinya ditumpahkan untuk mengejar kekayaan.


Baik yang benar-benar lapar maupun yang sengaja lapar, kiranya menarik piweling dalam “Suluk Saridin”, yakni ngatos-ngatos ampun lena, mugiyo kasil ingkang dipun seja, tentreming ati urip kang mulya. Berhati-hatilah dalam menjalankan berpuasa, jangan terlena. Semoga benar-benar berhasil sesuai tujuan yang diidamkan. Hati yang tenteram dan hidup yang mulia.
Jadi, tak apalah tirakat sebagai siasat untuk selamat. (35)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Kembali ke Atas