Pada era tahun 1980-an atau era Orde Baru, para seniman, khususnya penyair tidak bisa bebas mengekspresikan ide atau pikiran mereka. Hal itu disebabkan ketakutan para penyair terhadap pembreidelan atau pencekalan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemasungan terhadap kebebasan berekspresi itu mendorong penyair untuk menemukan pengucapan yang “aman” dalam melontarkan kritik terhadap situasi sosial politik melalui karya mereka.
Tokoh-tokoh pewayangan menjadi salah satu alat yang dimanfaatkan para penyair untuk menyampaikan kritik. Penggunaan tokoh-tokoh pewayangan tersebut sebenarnya merupakan simbolisme realitas konkret sosial politik yang ada saat itu. Tokoh-tokoh pewayangan yang digunakan oleh penyair untuk menyampaikan kritik, misalnya Arjuna, Bima, Kresna, Yudistira, dan Gatotkaca. Berikut ini adalah puisi-puisi yang menggunakan tokoh pewayangan sebagai sarana menyampaikan ide.
ARJUNA DI PADANG KURUSETRA
Arjuna menyisih ke pinggir gelanggang
Ia bingung menghadapi musuhnya seorang
Separohnya cemas dan separohnya gemas
“O, kenapa wanita ikut terlibat perang?”
Ia cantik dan cerdas. Ia pun pintar berhias
Dan pandang matanya merangsang nalar Arjuna
Kresna, setankah masuk ke dalam batinnya
Di Kereta Angkasa dewa dewi menahan sabda
Tapi kaum pendeta sibuk di sanggar pemujaan
Asyik membakar dupa. Khusuk masyuk berdoa
Pandawa dan Kurawa tak letih, harus milih:
O, kutuk siapa? Kenapa bukan cinta kasih
“Murdaningsih yang mana,” kata Arjuna
Panah Pasopati ataukah panah asmanara?
Satunya racun maut, satunya api hidup
Pada kita mereka pun saling menuntut
(Linus Suryadi, Ag., Basis Th. XXXII, No. 5, Mei 1983, h. 172)
Puisi karya Linus Suryadi tersebut memanfaatkan tokoh pewayangan, yaitu Arjuna dan Kresna. Tokoh-tokoh itu ditampilkan dalam rangka mempertautkan pada tokoh wayang lain, yakni Srikandi.
Kecemasan sekaligus kegemasan Arjuna ketika berhadapan dengan tokoh yang disembunyikan oleh penyair dalam teks sajak ini secara tidak langsung mengulas karakter Arjuna yang sering menggoda dan sekaligus tergoda oleh wanita. Penyair memanfaatkan tokoh Arjuna ini untuk menggambarkan kebimbangan seseorang yang berhadapan dengan musuh berwujud wanita yang sekaligus bisa menghancurkannya.
Puisi berikut juga memanfaatkan tokoh pewayangan untuk menyampaikan ide penyair.
BIMA
Di dalam pengelanaannya
dilihatnya tiada yang kekal
pada bahasa yang tinggal mati
Hutan jati hilang kumandangnya
dan sudut kota habis diperkata
juga langit telah hangus terbakar
di nyala matahari
Maka diputuskannya
untuk meninggalkan tanah kapur
dan tidur dengan naga
(yang tak jadi dibunuhnya)
di samudra angan-angan
Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi
–makhluk kecil itu
berhuni di lubuk hati
Matanya cerah seperti punya bocah
yang hidup abadi
(Subagio Sastrowardoyo, Budaya Jaya, Th. VI, No. 65, Oktober 1973, h;m. 628)
Sajak yang berjudul “Bima” karya Subagio Sastrowardoyo tersebut menampilkan tokoh pewayangan, yaitu Bima, salah seorang anggota Pandawa. Tokoh ini ditampilkan sebagai orang yang kembali ke dunia untuk menyaksikan keadaan alam yang telah lama ditinggalkannya. Tokoh Bima digambarkan prihatin ketika melihat kehancuran alam. Gambaran sikap prihatin tokoh Bima terlihat pada bait berikut.
Hutan jati hilang kumandangnya
Dan sudut kota habis diperkata
Juga langit telah habis terbakar
Di nyala matahari
Bait tersebut menyiratkan kekesalan dan keprihatinan tokoh Bima setelah menyaksikan keadaan alam yang rusak. Kekesalannya itu dilampiaskan dengan meninggalkan tanah kapur dan tidak jadi membunuh naga. Tokoh Bima dimanfaatkan penyair karena Bima simbol tokoh yang peduli terhadap kehidupan di dunia sejak masih hidup. Tokoh Bima menyiratkan keprihatinan penyair terhadap kerusakan alam.