Sastra dalam Iklan
Tahun Penelitian : 2009
Peneliti :
- Inni Inayati Istiana, S.S.
- Sutiyem, S.Pd.
- Rukmini, S.S.
- Shintya, S.S.
Abstrak
Dalam konteks “pembacaan” iklan, mempertalikan iklan dan semiotika nampaknya dapat menjadi satu hal yang menarik. Sebagian tayangan iklan seringkali bukan menawarkan produk semata, tetapi juga melekatkan sistem keyakinan dan nilai tertentu. Budaya punya harga di sini. Iklan yang pada dasarnya sekadar kegiatan promosional atas produk menjadi kegiatan pemasaran seperangkat nilai dan keyakinan. Iklan telah menjadi satu bagian kebudayaan populer yang memproduksi dan merepresentasikan nilai, keyakinan, dan bahkan ideologi. Menariknya, iklan kemudian tidak luput dari perannya sebagai arena komodifikasi, di mana pesan iklan bukan lagi sekadar menawarkan barang dan jasa, melainkan juga menjadi semacam alat untuk menanamkan makna simbolik. Sumber atau referensi dalam pembuatan iklan pun seringkali mengadopsi bagaimana perilaku masyarakat, simbol-simbol, asosiasi-asosiasi, serta kode-kode yang terdapat dalam konstruksi sosial masyarakat. Untuk memahami simbol-simbol, asosiasi-asosiasi, serta kode-kode tersebut, salah satunya melalui sastra. Melalui sastra dengan medium bahasa metaforis konotatifnya dapat merekonstruksi simbol-simbol, asosiasi-asosiasi, serta kode-kode yang terdapat dalam konstruksi sosial masyarakat yang berfungsi untuk menampilkan kembali berbagai peristiwa kehidupan manusia termasuk pandangan-pandangan tentang realitas sosial yang terdapat di dalam masyarakat; bagaimana orang mengartikan hidup, berinteraksi dengan batasan norma-norma, berbahasa, penginternalisasian ideologi, serta cakupan nilai-nilai tertentu.
Data penelitian diperoleh dari iklan-iklan jenis bellow the line seperti leaflet, poster, spanduk, baliho, bus panel, stiker, shop sign, flayers, dan sebagainya di seluruh kawasan Kota Semarang. Data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi dan dokomentasi. Kemudian, data dianalisis menggunakan pendekatan semiotik struktural dan pascastruktural. Semiotik struktural dengan mendasarkan pada teori Pierce untuk melihat tanda (ikon, indeks, simbol). Teori Barthes untuk melihat kode: kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode proairetic (aksi) dan kode kultural (kebudayaan). Teori Saussure untuk melihat makna denotatif dan makna konotatif. Semiotik pascastruktural dengan mendasarkan pada teori interteks Julia Kristeva dan konsep dekontruksi dari Jacques Derrida.
Sebagai bagian integral dari kebudayaan, sastra banyak mengandung nilai-nilai budaya karena sastra juga produk kebudayaan yang mencerminkan realitas masyarakat. Oleh karena sastra bagian integral dari budaya, nilai-nilai sastra berpedoman pada sistem nilai budaya masyarakat. Nilai-nilai budaya tersebut dapat dibedakan menjadi lima, yaitu (1) nilai hedonik (hedonic value) atau reaktif, nilai yang memberikan kesenangan secara langsung; (2) nilai artistik (artistic value) atau estetis, apabila suatu karya dapat dimanifestasikan suatu seni atau ketrampilan seseorang; (3) nilai kultural (cultural value), apabila suatu karya mempunyai hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradapan, dan kebudayaan; (4) nilai etika, moral, agama (ethical, moral, religius value) yang memancarkan ajaran yang ada sangkut-pautnya dengan etika, moral, dan agama; serta (5) nilai praktis (praktical value) atau didaktif yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Secara umum, ke-18 iklan tersebut dapat diurai maknanya melalui kode narasi, semantik, dan kebudayaan. Selain dapat diurai dengan ketiga kode tersebut, beberapa iklan juga sekaligus dapat diurai maknanya dengan kode simbolik dan kode hermeunetik ada dua iklan. Iklan-iklan yang berhasil diurai maknanya tersebut mengandung nilai-nilai tertentu termasuk nilai-nilai sastranya. Nilai-nilai sastra itu, antara lain: (a) Nilai hedonik terdapat dalam 12 iklan. Umumnya, tampilan visual iklan bellow the line memberikan kesenangan langsung. Iklan-iklan yang ditampilkan “tidak biasa”cenderung mengundang perhatian pembaca iklan. Iklan-iklan bellow the line disini diletakkan sebagai komunikator untuk menumbuhkan kepentingan aktivitas bersenang-senang dan konsumsi dalam masyarakat yang menyebabkan kebebasan individual yang lebih besar dan menciptakan ikatan-ikatan atau pembedaan pada masyarakat serta kesenangan emosional untuk konsumsi, mimpi-mimpi dan keinginan yang ditampakkan dalam bentuk tamsil budaya konsumen dan tempat-tempat konsumsi tertentu yang secara beragam memunculkan kenikmatan jasmaniah langsung serta kesenangan estetis. (b) Nilai artistik, hampir ke-18 iklan memunyai nilai artistik karena iklan secara fenomenologis merupakan bagian dari proses berkesenian yang masuk dalam bidang seni terapan, di mana intuisi, pengalaman keindahan atau dengan kata lain kerangka estetikanya tidak dapat dilepaskan dari kerangka komunikasi secara persuasif. (c) Nilai budaya terdapat dalam semua iklan (18 iklan). Iklan sebagai produk kebudayaan suatu massa, dinilai memiliki peran penting untuk mengubah kebudayaan, atau individu dalam cakupan yang lebih kecil. Iklan kini menjadi alat komunikasi yang membentuk kebudayaan dan mengontrol keras cara berpikir masyarakat yang pada akhirnya membentuk perilaku-perilaku tertentu dalam masyarakat karena pencitraan tertentu yang dibangun oleh iklan. (d) Nilai etika dan moral terdapat dalam 10 iklan bellow the line. Iklan sebagai sebuah karya seni, merepresentasikan ideologi visual, yang merupakan perpaduan elemen-elemen formal dan tematik tertentu. Yang memberi tempat bagi sikap hedonistik, seperti kesenangan, kegairahan, dan ekstasi yang diakibatkan oleh lemahnya marjinalisasi konsep baik atau buruk, berguna atau sampah, bermoral atau amoral, berbudaya atau asusila yang selama ini dipaparkan dalam kancah kontradiksi logis dan konflik. Dalam penelitian ini nilai moral dan etika yang terdapat dalam 10 iklan, pada umumnya menyampaikan pesan moral dan kritik sosial-politik terhadap keadaan bangsa saat ini. (e) Nilai praktis terdapat dalam 17 iklan. Pada umumnya mengajarkan tentang kearifan hidup dan nilai-nilai luhur yang patut diteladani yang dapat dipetik dari tampilan iklan-iklan bellow the line tersebut.
Nilai-nilai dalam sastra, dalam hal ini nilai-nilai yang bertumpu pada nilai budaya, ternyata banyak dimanfaatkan oleh banyak tim kreator iklan untuk membuat iklan yang menarik dan persuasif. Pemanfaatan nilai-nilai sastra dapat melalui kode visual maupun kode verbalnya dengan tujuan, salah satunya, agar pesan iklan dapat tercapai dan terbaca oleh masyarakat. Hampir semua iklan-iklan bellow the line yang berhasil dianalisis (18 iklan) secara tidak langsung banyak memanfaatkan nilai-nilai sastra dalam proses kreatifnya, baik itu melalui kode visual maupun kode verbalnya.
Kata kunci: iklan, sastra, semiotic