Memandang Puisi Melalui Aspek Semantik
Banyak cara dilakukan orang untuk menyampaikan perasaannya. Salah satunya melalui puisi. Puisi juga dapat digunakan sebagai media untuk menyampaikan kritikan. Melalui puisi kritikan disampaikan secara tidak langsung sehingga dibutuhkan pengetahuan tentang pemahaman makna dan rasa kesensitifan dalam berbahasa (rasa bahasa). Untuk mendapatkan “isi” sebuah puisi, diperlukan pengetahuan tentang aspek-aspek kebahasaan, di antaranya adalah aspek semantik atau ilmu bahasa yang membahas tentang makna.
Benveniste melalui Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra mengungkapkan bahwa pengertian tentang semantik membawa kita ke ranah penggunaan bahasa. Bahasa berfungsi sebagai penghubung antara manusia dan manusia lain, antara manusia dan dunia, antara jiwa dan benda-benda, penyampai informasi, dan pengomunikasi pengalaman.
Bahasa yang digunakan dalam puisi merupakan bahasa yang kompleks. Kata yang diambil biasanya singkat karena dibatasi oleh rima atau bait. Namun, kata tersebut harus dapat memberikan makna yang luas seperti yang diharapkan oleh pengarang dan juga mengandung unsur keindahan. Hal itulah yang menyebabkan mengapa bahasa dalam puisi meskipun bersifat denotatif, makna yang terkandung dapat bersifat konotatif.
Teks puitik tidaklah tersusun dari kata-kata yang khusus. Kata-kata yang jarang digunakan juga belum tentu membawa makna puitis yang istimewa. Seringkali justru kata-kata biasa dengan penggunaannya yang baru yang menciptakan kesan puitik.
Aspek semantik dapat diterapkan dalam memahami puisi. Salah satu di antaranya dengan menganalisis kosakatanya, yaitu pilihan kata dan konotasi yang ditimbulkannya. Kata hijau, misalnya, memunyai konotasi segar, riang, muda, polos, dan sebagainya. Kata malam memunyai konotasi kegelapan, ketakutan, keheningan, dan sebagainya. Konotasi yang dipilih sangat bergantung pada konteks dan memang landasan makna yang utama bagi puisi adalah konotasi.
Puisi sangat kental dengan imaji atau daya khayal pengarangnya. Imaji verbal adalah suatu fenomena. Melalui fenomena ini kata-kata yang mengacu pada realita yang berbeda berhubungan dalam frasa yang sama. Dari segi teknik, munculnya imaji ini juga disebabkan oleh adanya gaya bahasa, terutama metafora.
Schmitt dan Viala dalam Savoir-lire berpendapat bahwa kesan yang ditimbulkan oleh seseorang dalam memahami sebuah puisi sangat bervariasi. Apabila asosiasi kata-kata telah umum digunakan dan telah menjadi biasa, yang digunakan adalah konotasi konvensional. Namun, hal itu hanya menjadi ungkapan klise atau stereotip. Biasanya, kata “klise” ini memunyai makna yang kurang berbobot karena kata itu terlalu sering digunakan dan telah menjadi biasa serta mengacu pada imaji yang “tetap”.
Memang masih banyak lagi unsur yang membangkitkan makna konotasi pada puisi. Namun, sebagaimana dikemukakan di atas, landasan makna yang utama bagi puisi adalah konotasi.