Beberapa novel di Indonesia yang ditulis pengarang Jawa menampilkan etika Jawa melalui tokoh-tokohnya. Etika Jawa yang ditampilkan tidak hanya sekadar label, tetapi gambaran masyarakat Jawa secara utuh. Sikap-sikap seperti sumarah ‘berserah diri’, nrima ing pandum ‘menerima pemberian Tuhan’, tepa slira ‘tenggang rasa’, dan sebagainya merupakan wujud etika yang masih dijunjung tinggi oleh mayarakat Jawa. Selain itu, etika Jawa juga terwujud pada perkataan dan perbuatan yang halus. Kehalusan tokoh-tokoh dalam novel-novel Indonesia tersebut mewujudkan tokoh Jawa lengkap dengan etika yang dianutnya. Hal itu disampaikan Kustri Sumiyardana, S.S., M.Hum., tenaga teknis Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, sebagai narasumber utama dalam siaran interaktif Bina Bahasa dan Sastra di RRI Semarang pada Selasa, 28 Mei 2013, pukul 20.00-21.00.
Siaran yang dipandu oleh Rosmandari atau yang dikenal dengan Rosa tersebut membahas tema “Etika Jawa dalam Novel Indonesia”. Pada kesempatan itu, hadir pula Mochammad Fikri, S.S., tenaga teknis Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, sebagai narasumber pendamping. Dalam siaran tersebut dijelaskan bahwa dalam etika Jawa terdapat dua kaidah dasar, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Prinsip kerukunan bertujuan mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis dengan cara meniadakan konflik. Sementara itu, prinsip hormat menekankan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Hal-hal tersebut terdapat dalam beberapa novel Indonesia, seperti Burung-burung Manyar, Para Priyayi, dan Mantra Pejinak Ular.
Melalui siaran itu pendengar RRI Semarang diharapkan dapat memahami etika-etika Jawa melalui karya sastra. Masyarakat pun diharapkan menyadari pentingnya etika Jawa sebagai nilai-nilai yang perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, perilaku masyarakat akan lebih baik dan bermartabat.