oleh Rini Esti Utami
Kata redenominasi mulai menjadi pembicaraan masyarakat pada penghujung tahun 2012. Mendengar kata redenominasi, bayangan kesulitan ekonomi menghantui sebagian masyarakat negeri ini. Banyak orang kemudian menyelamatkan uang yang dimilikinya untuk diinvestasikan dalam bentuk emas atau mata uang asing yang dinilai lebih aman dan stabil.
Ketika mendengar kata redenominasi, kita teringat pada kebijakan keuangan pemerintahan Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, tentang pemotongan nilai uang. Pemerintahan Presiden Soekarno, melalui Menteri Keuangan saat itu, Syafrudin Prawiranegara, pada tanggal 30 Maret 1950 melakukan devaluasi dengan menggunting uang kertas bernilai Rp5,00 ke atas dan nilainya berkurang separuh. Peristiwa itu dikenal sebagai “Gunting Syafrudin”. Pada 24 Agustus 1959, pemerintahan Presiden Soekarno juga menurunkan nilai mata uang Rp10.000,00 yang bergambar gajah dan Rp5.000,00 yang bergambar macan, menjadi Rp100,00 dan Rp50,00. Peristiwa tersebut berakibat menurunnya daya beli masyarakat dan memperburuk perekonomian Indonesia.
Kata redenominasi bukan berasal dari kata denominasi yang mendapat prefiks re-. Kata redenominasi merupakan istilah ekonomi yang diserap dari bahasa Inggris, redomination. Kata redomination tersebut diserap secara utuh dalam bahasa Indonesia dengan penyesuaian ejaan dan lafal bahasa Indonesia.
Adapun definisi kata redenominasi dalam Wikipedia Bahasa Indonesia adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa redenominasi adalah menyederhanakan denominasi mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Pengurangan digit tersebut untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakukan transaksi serta mempermudah dalam pembukuan keuangan.
Lembar Informasi Kebahasaan dan Kesastraan Edisi 5, September—Oktober 2013