Ekranisasi dan Alih Wahana

Share link

oleh Inni Inayati Istiana

 

Istilah ekranisasi mulai banyak dikenal orang seiring munculnya fenomena transformasi atau adaptasi karya sastra ke dalam bentuk film yang berkembang awal tahun 2000-an. Karya yang merupakan perwujudan transformasi  atau adaptasi ini, antara lain novel populer berjudul Ayat-Ayat Cinta (Republika, 2004) karya Habiburrahman El Shirazy yang difilmkan pada tahun 2007 dan Ca-Bau-Kan (Kepustakaan Populer Gramedia, 1999) karya Remy Sylado difilmkan pada tahun 2002. Istilah ekranisasi berasal dari bahasa Prancis, écran yang berarti  ‘layar’. Eneste (1991) dalam bukunya yang berjudul Novel dan Film kemudian mendefinisikan istilah ekranisasi sebagai ‘pelayar-putihan’, ‘pemindahan/pengangkatan sebuah novel (karya sastra) ke dalam film’. Pemindahan dari novel ke layar putih secara tidak langsung mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh karena itu, ekranisasi dikatakan sangat terbatas jangkauan dan pembahasannya karena hanya berbicara perubahan dalam bentuk penambahan (perluasan), pengurangan/penyempitan, dan perubahan dengan sejumlah variasi.

 

Sementara itu, Sapardi Djoko Damono lebih memilih istilah alih wahana untuk membicarakan transformasi dari wahana satu ke wahana yang lain. Istilah ini hakikatnya memiliki cakupan yang lebih luas dari ekranisasi. Ekranisasi merupakan perubahan ke atau menuju layar putih, sedangkan alih wahana bisa dari berbagai jenis karya seni ke jenis karya seni lain. Istilah alih wahana ini tidak bertentangan dengan makna dan konsep dasar yang dimiliki oleh ekranisasi sebagai proses pengubahan dari satu wahana ke wahana lain.

 

Pengertian alih wahana yang dimaksudkan ini tentu saja berbeda dengan terjemahan. Terjemahan dan penerjemahan adalah pengalihan karya sastra dari satu bahasa ke bahasa yang lain, sedangkan  alih wahana adalah pengubahan karya sastra atau kesenian menjadi jenis kesenian lain. Alih wahana bisa terjadi dari cerita rekaan diubah menjadi bentuk tari, drama, atau film. Bukan hanya itu, alih wahana juga dapat terjadi dari film menjadi novel. Bahkan, puisi yang lahir dari lukisan atau lagu dan sebaliknya. Karya yang mengalami bermacam-macam alih wahana direka ulang dengan perubahan sudut pandang, diposisikan sebagai sebuah legenda atau cerita rakyat, dipentaskan berulang-ulang oleh kelompok teater tradisional atau modern, disalin ke dalam bentuk naskah atau manuskrip, atau juga dimanfaatkan sebagai nama untuk jenis minuman dan makanan.

 

 

Lembar Informasi Kebahasaan dan Kesastraan Edisi 4, JuliAgustus 2013


Share link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top