Pernikahan merupakan peristiwa sakral bagi masyarakat Jawa. Kesakralan tersebut salah satunya tergambar dalam prosesi upacara pernikahan. Upacara pernikahan itu mengandung maksud-maksud tertentu yang diwujudkan melalui simbol-simbol atau disebut juga dengan pasemon. Materi mengenai simbol-simbol dalam upacara pernikahan ini disampaikan dalam Siaran Sinau Basa Jawa di RRI Semarang pada 26 Februari 2014 pukul 19.30—20.00. Topik tersebut disiarkan di Programa Empat (Pro 4) RRI Semarang gelombang 800,1 AM dalam bentuk fragmen yang diperankan oleh Tri Wahyuni, S.S. dan Umi Farida, S.S. dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah.
Pada siaran itu disampaikan simbol-simbol dalam upacara pernikahan Jawa, antara lain, anyaman janur, tarup, serta berbagai macam tumbuhan dan buah yang dibentuk menjadi hiasan dekorasi pernikahan. Tetumbuhan merupakan simbol agar perjalanan kehidupan rumah tangga kedua pengantin bisa mendapatkan banyak keberuntungan dan kemuliaan. Daun alang-alang merupakan simbol agar pernikahan dapat berjalan lancar, bersih, bersahaja, dan tidak ada halangan apa pun. Pisang raja temen sebagai simbol raja dan ratu agar pengantin bisa mendidik anaknya menjadi orang yang berwibawa dan terpuji. Daun keluih merupakan simbol agar rezekinya berlebih. Kata keluih berasal dari luwih ‘lebih’. Daun beringin menjadi simbol pengayoman agar suami dapat memberikan perlindungan kepada istri dan anak-anak. Padi kuning menjadi simbol kecukupan pangan. Cengkir atau kelapa muda, yang digunakan dalam pernikahan adalah kelapa gading. Kata cengkir berasal dari kerata basa kencenging pikir ‘kemantapan pikiran’ dan tebu berasal dari antebing kalbu ‘kemantapan hati’. Kedua hal terakhir ini menandakan bahwa pengantin berdua sudah memiliki kemantapan hati dan pikiran untuk menjalani kehidupan rumah tangga.
Ada pula dekorasi anyaman janur yang disebut bleketepe. Bleketepe merupakan simbol permohonan agar tempat pelaksanaan upacara pernikahan mendapatkan berkat dari Tuhan Yang Mahakuasa. Selain itu, dalam upacara pernikahan Jawa terdapat tradisi balangan suruh ‘saling melempar daun sirih’. Tradisi ini dimaksudkan agar kedua pengantin memiliki sifat saling menghormati dan menghargai hak serta kewajiban masing-masing. Selanjutnya, pengantin pria menginjak telur sebagai simbol keturunan, setelah itu kakinya dicuci oleh pengantin wanita dengan air bunga. Tradisi ini merupakan simbol kesediaan istri untuk melayani dan menghormati suami.
Berikutnya terdapat tradisi timbangan, yang menunjukkan bahwa pengantin pria sudah diterima menjadi anak dalam keluarga wanita sehingga tidak ada pembedaan antara anak dan menantu. Ada pula acara kacar-kucur, yakni pengantin pria menuangkan beras, kacang-kacangan, dan uang dari kantong kain berwarna merah, kemudian pengantin wanita menerima pemberian suami tersebut dengan kain putih. Hal ini melambangkan pengantin pria siap menafkahi anak dan istri, sementara sang istri siap menyimpan dan mengatur harta keluarga.
Demikianlah makna-makna yang terkandung dalam tradisi upacara pernikahan adat Jawa. Materi dalam siaran Sinau Basa Jawa tersebut diharapkan dapat mengingatkan kembali tentang makna simbol dalam upacara pernikahan adat Jawa tersebut.