Perkembangan Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia dalam Siaran Interaktif Bina Bahasa dan Sastra Indonesia

Share link

Sistem ejaan bahasa Indonesia mengalami perkembangan dan perjalanan yang panjang. Tercatat ada tiga bentuk ejaan yang digunakan bangsa Indonesia sebagai pedoman ejaan, yaitu Ejaan van Ophuysen yang digunakan pada 1901—1947, Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik yang digunakan pada 1947—1972, dan yang terakhir adalah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang digunakan pada 1972 sampai sekarang. Namun, sebelum merangkum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, bangsa Indonesia memiliki empat konsep ejaan, yaitu Konsep Ejaan Pembaharuan pada 1956, Konsep Ejaan Melindo 1959, Konsep Ejaan Samsuri 1960, dan Konsep Ejaan LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan) 1966. Hal itu disampaikan oleh narasumber utama, Endro Nugroho W.A., S.S., pada siaran interaktif Bina Bahasa dan Sastra Indonesia bertema “Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia” pada Selasa, 6 Mei 2014, pukul 20.00—21.00, di Radio Republik Indonesia Semarang.

 

Siaran yang dimoderatori oleh Aris Budiyanto itu menghadirkan dua orang narasumber dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, yaitu Endro Nugroho W.A., S.S. dan Ema Rahardian, S.S. Pada kesempatan itu Endro Nugroho W.A., S.S. mengungkapkan bahwa sejarah ejaan bahasa Indonesia dimulai ketika van Ophuysen berhasil menyusun ejaan bahasa Melayu pada 1901. Ejaan van Ophuysen itu bertolak dari sistem bunyi bahasa Belanda sehingga muncul pemakaian konsonan /tj/ (sama dengan abjad /c/ sekarang), /dj/ (sama dengan abjad /j/ sekarang), /nj/ (sama dengan abjad /ny/ sekarang), dan vokal /oe/ (sama dengan abjad /u/ sekarang). Dalam Ejaan van Ophuysen juga terdapat tanda-tanda, misalnya accent aigu, accent grave, tanda trema, ain, hamzah, /z/, /f/, /ch/, /sj/, dan /oe/, seperti yang terdapat dalam kata-kata: énak, pèndèk, masälah, ‘adil, so`al, zaman, fikir, chawatir, masjarakat, dan doeloe.

 

Sementara itu, Ema Rahardian, S.S. mengungkapkan bahwa setelah Ejaan van Ophuysen digunakan selama 46 tahun, pemerintah Indonesia merasa perlu untuk menyederhanakan ejaan itu. Dengan demikian, pada 1947 Ejaan van Ophuysen diganti dengan Ejaan Soewandi. Penyempurnaan Ejaan van Ophuysen sebenarnya mulai muncul sejak Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada 1938. Namun, hal tersebut baru terlaksana pada 1947 ketika Mr. Soewandi, Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan Republik Indonesia, mengumumkan ejaan baru yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik. Ada beberapa perubahan ejaan yang terdapat dalam Ejaan Soewandi, antara lain: 1) huruf /oe/ diganti dengan huruf /u/, misalnya pada kata goeroe menjadi guru; 2) koma ain () tidak digunakan lagi sehingga kata ’umur, ma’af, dan Jum’at ditulis umur, maaf, dan Jumat; 3) koma ain () dan koma wasla (?)yang terdapat pada akhir suku kata, seperti pada ma’lum dan pa? ditulis dengan huruf /k/ sehingga menjadi maklum dan pak; 4) tanda trema (tanda titik dua di atas huruf vokal) dihilangkan, misalnya kata qurän ditulis quran; 5) penulisan huruf /é/ ditulis dengan huruf /e/ biasa, misalnya kata émas ditulis emas; 6) kata ulang boleh ditulis dengan angka dua, misalnya kata buku-buku ditulis buku2, sekali-kali ditulis se-kali2, dan mudah-mudahan ditulis mudah2-an; 7) kosakata baru yang dalam bahasa asalnya berupa kluster (gugus konsonan) tidak perlu mendapat tambahan huruf /e/, misalnya: kata praktik, administrasi, dan knalpot tidak boleh ditulis peraktik, administerasi, dan kenalpot.

 

Namun, Ejaan Soewandi ternyata belum mampu menyempurnakan Ejaan van Ophuysen secara tuntas, bahkan menimbulkan beberapa kesulitan. Oleh karena itu, pemerintah membuat konsep ejaan untuk menemukan konsep ejaan yang lebih sederhana dan sempurna. Pada 1966 pemerintah membuat konsep ejaan LBK yang merupakan cikal bakal Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Hal mendasar yang membedakan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dengan Ejaan Soewandi ialah setiap fonem dilambangkan dengan satu huruf. Pada 1972 pemerintah menetapkan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan sebagai pedoman ejaan baru yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 57 tahun 1972.

 


Share link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top