Bangsa Indonesia terbentuk dari beraneka ragam suku, budaya, agama, dan bahasa. Bangsa Indonesia merupakan cermin kemajemukan yang ditunjang dengan berbagai simbol pemersatu bangsa. Salah satu pemersatu itu adalah bahasa Indonesia. Namun, masalah yang dihadapi bangsa ini adalah kondisi kebahasaan di Indonesia yang cukup memprihatinkan, terutama penggunaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia di tempat umum, seperti nama bangunan, nama kompleks perumahan, nama pusat perbelanjaan, serta nama hotel dan restoran, sudah mulai marak menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Nama tempat yang seharusnya menggunakan nama berbahasa Indonesia, tetapi menggunakan kata asing itu menunjukkan mulai lunturnya jati diri keindonesiaan. Kondisi seperti itu harus kita sikapi dengan arif agar kita tidak menjadi asing di negeri sendiri.
Hal tersebut diungkapkan oleh peneliti Bahasa Provinsi Jawa Tengah, Agus Sudono, M.Hum., dalam siaran di Radio Republik Indonesia Semarang dengan tema “Menuju Masyarakat Berjati Diri Kuat melalui Bahasa” pada Selasa, 27 Januari 2015. Siaran interaktif yang dipandu oleh Bapak Heri Haryono itu menghadirkan dua narasumber, yakni Agus Sudono, M.Hum. dan Endro Nugroho, S.S.
Selain maraknya penggunaan bahasa asing di ruang publik, Endro Nugroho, S.S. menyatakan penyebab bahasa Indonesia semakin terpinggirkan adalah banyaknya penggunaan gaya bahasa eufimisme yang bermuatan politis serta merebaknya bahasa kasar dan tidak santun. Banyak para tokoh publik yang menggunakan gaya bahasa eufimisme untuk mengalihkan perhatian rakyat pada kenyataan sesungguhnya. Hal itu dapat dilihat pada penggunaan ungkapan penyesuaian harga BBM untuk menyatakan kenaikan harga BBM, masyarakat prasejahtera untuk menyatakan masyarakat miskin, dan mahasiswa diamankan untuk menyatakan mahasiswa ditangkap. Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa bahasa digunakan untuk tujuan politis. Padahal, pemimpin adalah cermin dari karakter bangsa. Jadi, setiap tindakan dan perbuatan mereka akan menjadi anutan bagi siapa pun yang dipimpinnya. Satu hal lagi yang amat memperihatinkan adalah bahasa sarkasme, yaitu bahasa kasar yang digunakan untuk menghujat orang atau lembaga lain, seperti ungkapan-ungkapan negeri maling, preman politik, keranjang sampah, dan institusi busuk.
Agus Sudono, M.Hum. menyatakan bahwa selain bahasa Indonesia, ada beberapa simbol jati diri bangsa yang lebih khas dan akan memperkuat identitas diri bangsa Indonesia, antara lain, bahasa dan sastra daerah. Sebagai anggota suatu komunitas etnis di Indonesia, bahasa dan sastra daerah juga harus kita jaga dan pelihara untuk menunjukkan jati diri daerah untuk memperkuat jati diri bangsa. Selain hal tersebut, kearifan lokal dapat menjadi simbol jati diri bangsa karena hampir setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal yang merupakan pencerminan sikap, perilaku, dan tata nilai komunitas pendukungnya. Kearifan lokal itu dapat digali dari berbagai sumber yang hidup di masyarakat, seperti peribahasa, pepatah, tembang, permainan, dan syair. Semua itu dapat memperkuat kepribadian dan karakter bangsa, sekaligus sebagai penyaring pengaruh budaya dari luar untuk modal pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.