SASTRA LISAN PESISIRAN MATI SURI

Share link

Sastra lisan pesisiran setakat ini seakan tidak terdengar keberadaannya. Padahal, dibeberapa daerah di Jawa Tengah masih aktif menggiatkan sastra lisan pesisiran tersebut. Hal itu disampaikan oleh Drs. Bambang Indiatmoko, Ph.D. dalam Sarasehan Bahasa dan Sastra Jawa dengan tema “Sastra Lisan Pesisiran”. Kegiatan yang dilaksanakan, Kamis 17 September 2015, pukul 18.30-12.00, di Gedung Dekanat Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Semarang, dihadiri lebih dari dua ratus peserta yang terdiri atas dosen, peneliti, mahasiswa, pemerhati bahasa, sastra, dan budaya Jawa di Kota Semarang. Kegiatan tersebut merupakan kerja sama Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah dengan Jurusan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.

Sarasehan dibuka secara resmi oleh Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, Drs. Pardi Suratno, M.Hum. Dalam sambutannya, Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah menyampaikan bahwa kegiatan tersebut merupakan suatu upaya untuk mengupas keberadaan sastra pesisiran yang selama ini kurang diakui keberadaannya dibandingkan sastra standar (Surakarta dan Yogyakarta). Hal itu terjadi karena sastra lisan pesisiran dianggap sebagai sastra pinggiran. Dengan lahirnya Perda Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa di Jawa Tengah, keberadaan bahasa dan sastra Jawa pesisiran mulai diakui keberadaannya. Saat ini, Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah sedang mengumpulkan naskah-naskah sastra pesisiran agar terdokumentasikan dengan baik. Selain itu, Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah berharap kegiatan ini dapat memberikan pencerahan dan penghargaan sehingga sastra lisan pesisiran dapat disejajarkan dengan sastra yang lain. Lebih lanjut, Drs. Pardi Suratno, M.Hum. menyampaikan bahwa sastra lisan pesisiran bukan hanya berisi masalah keagamaan saja, tetapi juga masalah-masalah sosial yang dibingkai dengan masalah-masalah keagamaan.

Pada kesempatan tersebut Drs. Yusro Edi Nugroho, M.Hum., Ketua Jurusan Bahasa Jawa Universitas Negeri Semarang, menyatakan bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa keseharian. Untuk itu, ketika berkomunikasi dengan generasi muda perlu mengunakan bahasa Jawa yang mudah dipahami sehingga pembelajaran bahasa Jawa berhasil. Sudah saatnya kegitan yang berkaitan dengan bahasa, sastra, dan budaya Jawa melibatkan generasi muda. Hal itu, bertujuan untuk menumbuhkan rasa handarbeni ‘memiliki’ pada bahasa, sastra, dan budaya Jawa di kalangan anak muda.

Sarasehan yang dimoderatori Sucipto Hadi Purnomo, M.Pd. dan Eka Yuli Astuti, M.A., dari Universitas Negeri Semarang, itu menghadirkan tiga narasumber. Narasumber pertama adalah Denny Try Aryanti, M.Hum., dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatika Surabaya, dengan materi “Main Ketoprak: Hidup dan Menghidupi Sastra Lisan Pesisiran”. Narasumber kedua adalah Anis Sholeh Ba’asyin, pengelola Rumah Adap Pati, dengan materi “Tradisi Sastra Lisan Pesantren Pati”. Ketiga, Bambang Indiatmoko, Ph.D., Dosen Sastra Jawa Unnes, dengan materi Strategi “Revitalisasi Sastra Lisan”. Drs. Bambang Indiatmoko, Ph.D. menyampaikan bahwa meskipun mati suri, sastra lisan pesisiran di beberapa daerah tetap tumbuh subur, salah satunya adalah di Kabupaten Pati. Anis Sholeh Ba’asyin, penggiat sastra pesisiran yang juga mendirikan kelompok ketoprak Opor Bebek, Pati, menyampaikan bahwa keberadaan sastra pesisiran terpinggirkan merupakan perjalanan sejarah yang panjang. Ketoprak sebagai salah satu produk sastra pesisiran memiliki andil dalam penyebaran dan pembengkokan sejarah. Masyarakat lebih tahu cerita sejarah hanya melalui pementasan-pementasan ketoprak daripada sejarah sebenarnya. Lebih lanjut, Anis Sholeh Ba’asyin menjelaskan bahwa seringkali masyarakat mengidentikkan sastra pesisiran dengan sastra pesantren. Sastra pesantren atau sastra Islam yang banyak berkembang saat ini adalah sastra Islam plesetan. Sastra ini berkembang dari syair-syair dalam Islam yang dikembangkan sendiri oleh pelaku seni sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Sastra jenis ini berkembang pesat bukan hanya di daerah pesisiran.

Berbeda dengan dua narasumber yang membahas tentang keberadaan sastra lisan pesisiran, Deny Tri Aryanti, M.Hum. mengungkapkan bahwa bahasa Jawa yang digunakan ketoprak sangat berbeda dengan bahasa Jawa standar. Dalam pementasan para pemain ketoprak menggunakan bahasa Jawa tingkat tinggi atau bahasa Jawa ragam halus. Hal tersebut sangat berbeda dengan penggunaan bahasa di luar panggung. Dalam keseharian para pemain ketoprak tetap menggunakan bahasa Jawa keseharian. Pada akhir penyajian dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatika Surabaya yang berparas cantik dan aktif sebagai pemain ketoprak Cahya Utama Pati ini menyampaikan bahwa bebarapa pemain ketoprak mengabdikan hidupnya untuk melestarikan sastra pesisiran melalui pementasan ketoprak. 


Share link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top