Oleh Desi Ari Pressanti
Berbagai permasalahan timbul dalam kegiatan penerjemahan sastra, salah satunya adalah mengategorikan sastra terjemahan. Yudiono dalam Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (2007:12) menyatakan bahwa sastra Indonesia berarti sastra (kesusastraan) berbahasa Indonesia yang sejarah pertumbuhannya dimulai pada awal abad ke-20. Oleh karena itu, apabila bahasa ditempatkan sebagai sumber pengategorian sastra, sastra asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia termasuk dalam khazanah sastra Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pendapat Salam dalam academia.edu bahwa novel Buiten Het Gareel (1940) karya Suwarsih Djojopuspito tidak pernah diperhitungkan sebagai bagian khazanah sastra Indonesia meskipun ditulis oleh orang Indonesia dan berlatar Jawa. Akan tetapi, setelah diterjemahkan menjadi Manusia Bebas novel tersebut termasuk dalam khazanah sastra Indonesia.
Setelah ditentukan bahwa sastra terjemahan yang menggunakan bahasa Indonesia termasuk sastra Indonesia, permasalahan selanjutnya adalah sastra terjemahan termasuk dalam sastra marginal atau pusat. Sugihastuti dalam Teori Apresiasi Sastra (2007:34) menyatakan kriteria yang menetapkan sastra pusat adalah karya sastra Indonesia yang diciptakan oleh bangsa Indonesia dan bermediakan bahasa Indonesia maka novel terjemahan termasuk dalam sastra marginal karena sastra terjemahan ditulis pada awalnya oleh orang asing dengan bahasa yang asing pula. Akan tetapi, apabila kriteria sastra marginal adalah sastra yang diresepsi oleh sedikit pembaca maka novel terjemahan bukan sastra marginal karena pembaca novel terjemahan pun banyak.
Selain pengategorisasian sastra, bahasa merupakan masalah penting dalam penerjemahan karena bahasa merupakan salah satu faktor yang menentukan keberadaan dan identitas teks sastra. Ketika sebuah karya sastra diterjemahkan yang dialihbahasakan tidak hanya pesan di dalamnya, tetapi juga budaya, nilai rasa, dan suasana yang melingkupi teks asli. Oleh karena itu, penerjemah harus menguasai bahasa asli sebagus ia menguasai bahasa sasaran. Walau bagaimanapun hasil terjemahan tentu tidak akan persis dengan aslinya karena dalam penerjemahan terjadi delesi (pengurangan), penambahan, atau substitusi (penggantian). Hal-hal tersebut yang harus dipahami oleh seorang penerjemah sehingga hasil terjemahan tidak bergeser terlalu jauh dari teks asli.
Lembar Informasi Kebahasaan dan Kesastraan Edisi 5, September-Oktober 2014