Oleh Ika Inayati
“…, Indonesia juga harus melindungi Susno Duadji yang merupakan whistleblower, karena telah mengungkap sejumlah kasus besar.” (www.liputan6.com, 29 April 2013)
“Jakarta – Sejumlah kalangan menyebut mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji sebagai peniup peluit (whistleblower) kasus korupsi yang diseret ke pengadilan“. (www.detiknews.com, 19 Juli 2011)
Kedua kutipan tersebut diambil untuk menunjukkan pemakaian istilah whistle-blower dalam konteks hukum yang sempat mengemuka di media massa Indonesia beberapa waktu yang lalu. Seiring dengan itu, muncul beragam istilah terjemahan yang digunakan untuk merujuk istilah whistle-blower, yaitu ‘peniup peluit’, ‘saksi pelapor’, ‘pengungkap aib’, ‘pengungkap kasus’, bahkan ‘pengungkap fakta’.
Ketika whistle-blower diterjemahkan menjadi ‘peniup peluit’, penerjemah istilah ini menggunakan metode penerjemahan harfiah. Penerjemahan metode ini dilakukan dengan cara menerjemahkan kata demi kata kemudian susunan kata dalam kalimat terjemahannya disesuaikan dengan susunan kata dalam bahasa sasaran. Namun, istilah ‘peniup peluit’ ini tidak mencerminkan nuansa konteks hukum jika berdiri sendiri.
Nuansa konteks hukum lebih terasa ketika whistle-blower diterjemahkan menjadi ‘saksi pelapor’, ‘pengungkap aib’, ‘pengungkap kasus’, dan ‘pengungkap fakta’. Istilah whistle-blower didefinisikan sebagai a person who tells police, reporters, etc., about something (such as a crime) that has been kept secret (2) one who reveals something covert or who informs against another dalam kamus Merriam-Webster. Definisi istilah tersebut dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai 1 ‘seseorang yang mengungkapkan sesuatu yang selama ini disembunyikan (misalnya: permasalahan kriminal) kepada polisi, jurnalis, dsb.’, 2 ‘seseorang yang mengungkap sesuatu yang ditutupi atau yang memberikan informasi melawan yang lain’. Jika disandingkan dengan definisi tersebut, terjemahan whistle-blower sebagai ‘saksi pelapor’, ‘pengungkap aib’, ‘pengungkap kasus’, dan ‘pengungkap fakta’ lebih dapat berterima. Lalu, apakah istilah ini memiliki terjemahan yang normatif?
Pada perkembangan terakhir Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah RI Nomor 4 Tahun 2011 memberikan terjemahan whistle-blower sebagai ‘pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya’. Hal ini serupa dengan definisi whistle-blower dalam laman KPK Whistleblower’s System, yaitu ‘seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi tempat dia bekerja dan memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut’. Dengan demikian, sebenarnya telah ada terjemahan yang normatif untuk istilah whistle-blower, yaitu ‘pelapor tindak pidana’.
Lembar Informasi Kebahasaan dan Kesastraan Edisi 5, September-Oktober 2014