Kemunculan Cerita Silat di Indonesia
Oleh Kustri Sumiyardana
Di Indonesia dikenal ada cerita yang memuat cerita silat. Cerita itu mengisahkan perjalanan tokoh utama yang mahir dalam bela diri atau silat. Biasanya, tokoh utama menggunakan kemahirannya untuk menumpas kejahatan.
Bibit-bibit cerita silat sudah lama berada di Indonesia. Cerita silat identik dengan laga, peperangan, atau perkelahian. Sejak Jawa Kuno sudah muncul cerita-cerita yang mengisahkan peperangan. Misalnya, Kakawin Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang mengisahkan pertempuran antara Pandawa dan Kurawa. Demikian pula, adanya kisah-kisah peperangan dalam Kakawin Ramayana, Kidung Ranggalawe, Kidung Sorandaka, Kidung Sunda, Serat Menak, dan Serat Suryaraja menunjukkan bahwa masyarakat Jawa menyukai cerita tentang pertempuran.
Pernyataan bahwa masyarakat Jawa menyukai cerita pertempuran didukung pula dari cerita lisan dan seni pertunjukan yang beredar di masyarakat. Dulu masyarakat Jawa dikenal menyukai pertunjukan wayang dan kethoprak. Dalam pertunjukan itu pasti ada adegan pertempuran. Karena latar belakang masyarakat yang demikian, tidak aneh bahwa cerita silat sempat digemari di Indonesia.
Kemunculan cerita silat di Indonesia dipengaruhi cerita dari Tiongkok. Awalnya ada beberapa orang Indonesia keturunan Tionghoa yang menerjemahkan karya-karya dari Tiongkok. Buku terjemahan cerita silat tertua yang dapat dijumpai diterbitkan oleh Penerbit Van Dorp berjudul Boekoe Tjerita Tjioe Koan Tek Anak Tjioe Boen Giok, Terkarang Oleh Satoe Orang Tjina. Buku itu diterbitkan pada tahun 1882. Selanjutnya, pada tahun 1909 terbit buku berjudul Pembalesannja Satoe Nona Modah atau Xioa Honger. Dalam buku-buku tersebut tidak dicantumkan nama penerjemahnya. Kemudian, pada masa-masa selanjutnya penerjemah itu ditulis juga, misalnya Gan Peng Liang atau dalam karyanya sering disingkat dengan GPL dan Oey Kim Tiang atau disingkat OKT. Mereka banyak menerjemahkan cerita-cerita silat dari negeri Tiongkok. Kemudian muncul penulis-penulis cerita silat dari Indonesia. Ada penulis keturunan Tionghoa yang mengarang cerita silat, misalnya Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Karyanya antara lain Suling Pusaka Kemala, Pedang Kayu Harum, Pecut Sakti Bajrakirana, Alap-alap Laut Kidul, dan Bagus Sajiwo.
Selain pengarang keturunan Tionghoa, muncul pula penulis-penulis asli Indonesia. Penulis-penulis itu antara lain Herman Pratikto yang mengarang Bende Mataram, Singgih Hadi Mintardja dengan karya-karyanya antara lain Pelangi di Langit Singasari, Nagasasra dan Sabuk Inten, dan Api di Bukit Menoreh. Selanjutnya, ada Bastian Tito yang menciptakan tokoh Wiro Sableng.
Cerita silat digolongkan ke dalam sastra populer, yaitu jenis sastra yang sederhana dan isinya tidak menampilkan hal yang rumit. Sastra populer mudah dipahami sesuai dengan pengalaman pembacanya. Oleh karena itu, sastra populer dapat dinikmati dan dikonsumsi oleh pembaca pada umumnya, termasuk pembaca yang masih awam terhadap sastra. Cerita dalam sastra populer sudah jelas antara yang benar dan yang salah. Fungsinya hanya sebagai penghibur.
(Lembar Informasi Kebahasaan dan Kesastraan, Edisi 2, Juli–Desember 2015)