Anakronisme
Umi Farida, S.S.
Anakronisme berasal dari bahasa Yunani dari kata ?ν? ‘melawan’ dan χρ?νος ‘waktu’, yakni kesalahan dalam kronologi, dinyatakan dalam ketiadaan keselarasan, line atau korespondensi dengan waktu. Anakronisme dapat terjadi dalam cerita atau narasi sejarah, lukisan, film atau media apa pun.
Anakronisme adalah penempatan peristiwa, tata latar (setting), tokoh maupun dialog yang tidak sesuai dengan tempat dan waktu yang dipilih sastrawan dalam karyanya. Anakronisme umumnya terjadi dalam karya sastra yang bersifat realistis dan mengambil tata latar di masa lampau. Adanya anakronisme dalam sebuah karya sastra dapat mengurangi efek sastra dan mengurangi kepercayaan pembaca terhadap karya sastrawan tersebut. Namun, anakronisme ini sering kali disengaja demi efek dan nilai lambang sastra dalam karya-karya modern, seperti dalam aliran surealisme yang lebih menekankan kelanggengan peristiwa yang tidak terikat oleh waktu dan tempat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 58), anakronisme adalah 1 hal ketidakcocokan dengan zaman tertentu; 2 Sas penempatan tokoh, peristiwa percakapan, dan unsur latar yang tidak sesuai menurut waktu di dalam karya sastra. Contohnya Malin Kundang mengendari Ferrarinya dan mengirim BBM kepada istrinya (KBBI, 2008:58).
Anakronisme, menurut Nurgiyantoro (2009: 237), menyaran pada pengertian adanya ketidaksesuaian dengan urutan (perkembangan) waktu dalam sebuah cerita. Waktu yang dimaksud adalah waktu yang berlaku dan ditunjuk dalam cerita (waktu cerita) dengan waktu yang menjadi acuannya yang berupa waktu dalam realitas sejarah. Selain itu, anakronisme juga menunjuk pada pengertian yang lebih luas-namun masih dalam hubungannya dengan kekacauan penggunaan waktu-yaitu pada sesuatu yang tidak masuk akal. Cerita fiksi yang di dalamnya terdapat kekacauan dan kerancuan penggunaan waktu dapat disebut cerita yang mengandung anakronisme. Anakronisme dapat juga menyaran pada sesuatu yang tidak logis, misalnya seseorang yang semestinya tak memiliki benda atau kesanggupan tertentu, tetapi dalam karya itu disebutkan memilikinya. Misalnya, seseorang yang baru pertama kali naik pesawat, langsung bisa menerbangkannya.
Anakronisme pada dasarnya merupakan kelemahan dan menurunkan kualitas sebuah karya sastra. Namun, kesengajaan meramu anakronisme dapat menjadi keunikan dan kelebihan tersendiri bagi sebuah karya. Pertunjukan wayang sering memasukkan hal-hal yang bersifat anakronistis yang berasal dari budaya kini, khususnya dalam adegan goro-goro. Unsur-unsur anakronisme dapat menjembatani imajinasi audience (penonton/pendengar) terhadap cerita wayang dengan sesuatu yang bersifat kekinian atau untuk menunjukkan bahwa kesenian wayang tidak ketinggalan zaman.
Lembar Informasi Kebahasaan dan Kesastraan Edisi 2, Juli-Desember 2015