Fried Rice, Fried Cassava, Black Coffee? Prestise atau Sikap Feodal?

Nasi goreng, singkong goreng, kopi hitam, pasti bukan nama-nama yang aneh di telinga rakyat Indonesia. Nama-nama itu jamak diucapkan melalui lisan mereka. Lengkap dengan segala konsep dan tradisi yang menyertai saat menikmati makanan dan minuman tersebut.  Para lelaki di negara ini bahkan menjadikan kopi sebagai sarana sosialisasi yang sangat mudah dan murah untuk dibeli. Namun, era globalisasi mengubah semuanya. Semua yang datang dari Eropa dan Amerika terdengar lebih menarik, prestise, dan mahal. Maka, berubahlah nasi goreng, singkong goreng, dan kopi hitam menjadi fried rice, fried cassava, dan black coffee.

Perubahan ini bukannya tanpa efek. Melambungnya harga, citra, dan tentu saja gegar budaya merupakan efek yang tidak dapat dihindari. Kopi yang semula berharga Rp5.000,00 bisa saja berubah menjadi Rp50.000,00 ketika namanya berganti black coffee di kafe-kafe. Tentang prestise, tentu para penikmat kopi itu lebih merasa bergengsi menyeruput black coffee di kafe daripada di warung kopi.

Berawal dari fenomena itulah, Amin Hidayat, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Grobogan, menegaskan bahwa penggunaan nama-nama asing yang berlebihan bukanlah sikap yang positif dalam upaya pemartabatan bahasa Indonesia. Hal itu disampaikannya saat membuka Penyuluhan Penggunaan Bahasa Indonesia bagi Badan Publik di Kabupaten Grobogan yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah di aula Danau Resto, Hotel Kyriad Grand Master. Kegiatan yang dilaksanakan pada 20-21 April 2018 itu diikuti 40 peserta dari staf tata usaha Dinas Pendidikan dan sekolah-sekolah di Kabupaten Grobogan.

Senada dengan pernyataan tersebut, Tirto Suwondo, Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah, juga menyampaikan ajakan untuk mengubah pola pikir tentang kedudukan bahasa asing di Indonesia. Saat ini banyak orang tua merasa bangga jika anak-anaknya dapat berbahasa asing. Sayangnya kebanggaan itu tidak diiringi dengan kebanggaan berbahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Salah satunya terlihat pada forum di Indonesia yang melibatkan beberapa negara asing, misalnya Malaysia, Philipina, dan Brunei. Meskipun hanya dihadiri beberapa negara Asia, kegiatan tersebut dipublikasikan sebagai forum internasional. Seharusnya dalam forum tersebut, bahasa Indonesia lebih diutamakan, tetapi kenyataannya, bahasa Inggris lebih diutamakan daripada bahasa Indonesia. Selain melanggar UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia, hal tersebut juga dapat dianggap sebagai sikap feodal yang selalu ingin melayani bangsa asing. Oleh karena itu, Tirto Suwondo mengajak peserta supaya lebih bangga berbahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.

Peserta tentu saja menyambut ajakan tersebut. Hal itu tampak dari antusias mereka dalam sesi tanya jawab. Penyampaian materi  “Ejaan Bahasa Indonesiaserta “Bentuk dan Pilihan Kata berjalan dengan riuh karena keaktifan peserta. Penggunaan Kamus Besar Bahasa Indonesia V (KBBI V) dalam jaringan (daring) di gawai berhasil menarik perhatian mereka.  Akhirnya, kata tulat, tubin, dan jenama pun memperkaya kosakata peserta. Selanjutnya, “Kalimat Efektifmenjadi puncak dari materi penyuluhan. Akan tetapi, sesi tersebut bukanlah akhir dari kegiatan penyuluhan karena masih dilanjutkan dengan penyusunan rekomendasi. Rekomendasi tersebut kemudian dirangkum dan diserahkan kepada pemegang kebijakan mengenai badan publik. 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Kembali ke Atas