Moda Raya Terpadu (MRT)
Lembar Informasi Kebahasaan dan Kesastraan Edisi 2, Juli–Desember 2019
Oleh Agus Sudono, M.Hum.
Presiden Joko Widodo meresmikan beroperasinya Moda Raya Terpadu Jakarta atau MRT Jakarta pada Minggu (24/3/2019) pagi. Begitu Kompas (25 Maret 2019) mengawali beritanya. Setelah menunggu-nunggu selama sekitar 25 tahun, akhirnya masyarakat Jakarta bisa menikmati alat transportasi publik itu. Selain soal ketersediaan alat transportasi publik yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, dari sisi bahasa singkatan baru MRT tersebut patut menjadi perhatian.
Singkatan MRT berasal dari bahasa Inggris yang merupakan kepanjangan mass rapid transit. Singkatan itu tetap dipertahankan, tetapi kepanjangan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi moda raya terpadu. Kepanjangan berbahasa Indonesia, moda raya terpadu, itu dibentuk untuk mempertahankan singkatan MRT yang sudah sangat populer.
Dalam buku Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing Edisi Kedua (Sugono dkk., 2005:10) disebutkan bahwa ada dua cara pemadanan kata dan ungkapan asing, yakni melalui penerjemahan dan penyerapan. Contoh penerjemahan adalah supermarket menjadi pasar swalayan, department store menjadi toko serba ada (sering disingkat toserba) atau pasaraya, playground menjadi taman (ber)main, industrial estate menjadi kawasan industri, dan shophouse menjadi rumah toko atau ruko. Adapun penyerapan dilakukan melalui penyesuaian ejaan dengan mengutamakan bentuk tulisnya. Hasil penyerapan itu dilafalkan secara Indonesia. Misalnya, villa menjadi vila, bungalow menjadi bungalo, mall menjadi mal, dan agent menjadi agen.
Pengindonesiaan MRT menjadi moda raya terpadu tersebut serupa dengan pengindonesiaan ATM (automatic teller machine) yang kemudian dipadankan ke dalam bahasa Indonesia menjadi anjungan tunai mandiri yang biasa disingkat ATM. Penerjemahan automatic teller machine menjadi anjungan tunai mandiri (ATM) dan mass rapid transit menjadi moda raya terpadu (MRT) semacam ini dapat dikatakan sebagai penerjemahan secara kreatif. Istilah yang dimasyarakatkan media massa tersebut akhirnya bisa diterima masyarakat karena faktor kebiasaan dan kebanggaan berbahasa Indonesia.
Lembar Informasi Kebahasaan dan Kesastraan Edisi 2, Juli–Desember 2019