Sastra Wangi

Lembar Informasi Kebahasaan dan Kesastraan Edisi 1, Januari–Juni 2020

Oleh Ery Agus Kurnianto, M.Hum.

Pada tahun 1998-an dunia sastra Indonesia riuh dengan terbitnya sebuah novel yang ditulis oleh penulis perempuan. Novel tersebut berjudul Saman yang ditulis oleh Ayu Utami. Mengapa Saman menjadi biang kerok munculnya keriuhan di dunia sastra Indonesia?

Saman merupakan novel yang sarat dengan unsur erotisisme yang digunakan sebagai sarana literer. Kevulgaran penulis dalam mengungkapkan urusan seksualitas menghadirkan polemik sastra pada waktu itu. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa novel tersebut adalah film dewasa yang diwujudkan dalam bentuk tulisan. Beberapa orang mengatakan bahwa karya itu sarat dengan pornografi. Hal yang paling menarik adalah sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa novel Saman adalah sastra wangi.

Disebut sastra wangi karena karya itu penuh dengan ekspresi yang tidak lagi menggunakan pasemon ketika membicarakan sesuatu yang tabu dan saru, yaitu persoalan seksualitas yang disunguhkan secara frontal dan telanjang. Selain itu, istilah itu muncul karena mayoritas penulis sastra wangi adalah penulis perempuan yang memiliki kecenderungan berekspresi secara bebas dan berani. Hal itulah yang pada akhirnya menjadi inspirasi bagi pemikir dan penikmat sastra untuk menyebutnya sebagai sastra wangi.

Seperti halnya jenis karya sastra lain, sastra wangi juga merupakan suatu karya yang bermakna dan berguna (mengesampingkan unsur-unsur seksualitasnya). Karya tersebut banyak mengeksploitasi ajaran moral, mengangkat kritik-kritik sosial terhadap pemerintah, dan mengangkat persoalan-persoalan sosial yang bias gender. Tidak dapat dinafikan bahwa sastra wangi turut berperan dalam menyosialisasikan persoalan gender dan feminisme secara masif. Sebutan sastra wangi bukanlah sebuah predikat negatif dalam sebuah proses kreatif. Munculnya karya-karya yang berani keluar dari tatanan adalah bentuk kemajemukan dalam berkarya yang akan memperkaya dan mewarnai dunia sastra Indonesia.

Ada beberapa penulis perempuan Indonesia yang berperan memperkaya bentuk dan wajah sastra Indonesia serta menjadikan dunia sastra Indonesia menjadi lebih berwarna melalui karya sastra wangi. Penulis perempuan itu, antara lain (1) Ayu Utami dengan novelnya berjudul Saman, Larung , Bilangan Fu, Pengakuan: Eks Parasit Lajang;(2) Djenar Maesa Ayu melalui karyanya Mereka Bilang, Saya Monyet! (antologi cerpen), Jangan Main-Main Dengan Kelaminmu (antologi cerpen), Cerita Pendek Tentang Cerita yang Pendek (antologi cerpen); dan (3) Fira Basuki melalui karya trilogi novelnya yang berjudul Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Kembali ke Atas