Merawat Ingatan Lelagon Banyumasan
Kidung dalam sastra lisan diartikan sebagai nyanyian. Kidung ini dalam kebudayaan Banyumas disebut dengan lelagon Banyumasan yang ditampilkan sebagai performing art dengan iringan gamelan.
Hal itu disampaikan Prof. Dr. Sugeng Priyadi saat menjadi narasumber dalam acara webinar Kidungan dalam Keyakinan dan Tradisi Masyarakat Banyumas yang digelar Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional (KKLP) Pelindungan Bahasa dan Sastra, Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (BBPJT) secara daring melalui Zoom Meeting.
“Kidung merupakan sastra puisi yang dilisankan. Kidung ini dikenal sejak zaman Majapahit akhir. Namun, oleh orang-orang Bali kidung dianggap tidak seindah kakawin,” katanya.
Dalam acara yang dipandu Naratungga Indit Prahasita itu, Sugeng mengatakan, lelagon Banyumasan menggunakan bahasa dialek Banyumas dan bersifat legendaris.
“Yang legendaris itu, antara lain, Kembang Glepang, Ilogondang Banyumasan, Uthuluwuk. Dawet Ayu itu masih baru, lalu yang terkenal lagi Gudril, Eling-eling, ricik-ricik, Waru Dhoyong, Uler Kembang,Glaha glehe, Randha Nunut,” tutur Sugeng.
Guru besar bidang Ilmu Pendidikan Sejarah, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, itu menjelaskan bahwa orang Banyumasan selalu nembang dengan cara memelesetkan, misalnya tembang randa nunut. Tembang yang dinyanyikan oleh para sinden dipelesetkan oleh para niyaga atau para pengendang.
“Anak-anak Banyumas juga banyak punya nyanyian tembang. Saya sering mendengarkan kreativitas tembang Banyumasan itu saat pertunjukan. Sayangnya para pelaku seni itu sudah sangat jarang,” tambahnya.
Sugeng mengajak masyarakat untuk merawat ingatan akan budaya yang dimiliki bangsa. Pada masa Kerajaan Majapahit lahir karya-karya berbentuk kidung. Namun, karena saat itu Kerajaan Majapahit runtuh, sastra kidung dengan kakawin dibawa ke Bali.
“Sastra Jawa tidak boleh mati. Ronggo Wasito bukanlah sastrawan penutup bagi sastra Jawa. Oleh karena itu, harus dihadirkan sastrawan-sastrwan Jawa dikemudian hari,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, Dr. Ganjar Harimansyah menyatakan, dalam sebuah sastra lisan ada beberapa yang sudah terlupakan. Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah memiliki konsentrasi pekerjaan konservasi sastra lisan.
“Terdapat lima program perlindungan bahasa dan sastra daerah yang dilakukan oleh Balai Bahasa. Dalam lima program tersebut Balai Bahasa juga akan mengukur daya hidup bahasa serta bagaimana konservasi sastra lisannya,” katanya.
(asa/est)