“Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Apa yang ada dalam pikiran para pemuda kita ketika mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928 sehingga 17 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan sudah sangat memikirkan bahasa persatuan?
Dari berbagai kemungkinan, kata persatuan sudah cukup untuk merangkum banyak opsi jawaban. Pemuda kita pada saat itu sudah memiliki kesadaran bahwa Indonesia membutuhkan identitas bahasa yang jati sebagai simbol representasi dari diversitas pola pikir, pola hidup, serta pola etnisitas bangsa. Indonesia membutuhkan keseragaman untuk membungkus keberagaman. Oleh karena itu, kehadiran bahasa persatuan sangat dibutuhkan.
Lantas, bagaimana dengan pemuda kita saat ini?
Rupanya pemuda kita pada saat ini masih peduli dengan bahasa persatuan, bahasa Indonesia, walaupun mungkin sudah lupa dengan isi bulir ketiga Sumpah Pemuda. Semangat untuk membela bahasa Indonesia juga masih membara. Hal itu dapat kita lihat melalui kejadian beberapa waktu lalu, tepatnya ketika Perdana Menteri Malaysia mencetuskan wacana hendak mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa kedua ASEAN. Bak singa terbangun dari tidur panjangnya, masyarakat, khususnya pemuda Indonesia, terusik tidak terima. Setelah perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan, kasus perselisihan di Blok Ambalat, hingga klaim Reog Ponorogo sebagai kesenian asli Malaysia, kini sentimen lama dengan negara tetangga itu kembali menyala.
Twibbon-twibbon bertajuk bela bahasa Indonesia pun bertebaran di jagat maya. Semangat patriotisme untuk menginternasionalkan bahasa Indonesia disebarkan melalui takarir-takarir tentang keunggulan bahasa Indonesia, baik secara hukum, historis, maupun linguistik, jika dibandingkan dengan bahasa Melayu. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, pun turut mengimbau agar seluruh masyarakat terus mendukung pemerintah dalam memberdayakan dan membela bahasa Indonesia.
Namun, apakah perdebatan mengenai bahasa apa yang lebih pantas untuk naik ke podium kedua di ASEAN itu memang substansial dan relevan? Saya rasa tidak. Mengapa? Ada beberapa alasan.
Pertama, menurut pasal 34 dalam Piagam ASEAN, “Bahasa kerja ASEAN adalah bahasa Inggris” . Sejak awal pembentukan ASEAN, memang tidak ada bahasa pertama, bahasa kedua, dan seterusnya, hanya ada bahasa kerja.
Kedua, masih mengutip piagam ASEAN, menurut pasal 2 ayat l, “Tiap negara anggota ASEAN harus menghormati perbedaan budaya, bahasa, dan agama yang dianut oleh rakyat ASEAN dengan menekankan nilai-nilai bersama dalam semangat persatuan dalam keanekaragaman”. Dengan demikian, tidak sepantasnya kita saling adu bahasa demi kepentingan diplomatik semata karena wacana tersebut justru dapat mencederai lebih dari seribu bahasa lain yang ada di ASEAN.
Ketiga, sebelum bertarung demi internasionalisasi bahasa Indonesia, sudah seharusnya kita berkaca pada kondisi internal bangsa, apakah bahasa Indonesia sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita amati beberapa fenomena kebahasaan yang ditemukan di sekitar kita.
Gambar 1. Penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik (sumber: Google)
Gambar 2. Penggunaan bahasa Indonesia di ruang digital (sumber: Mediatoolkit)
Pada gambar pertama, terlihat bahasa asing masih mendominasi ranah publik kita. Selain tidak sejalan dengan misi internasionalisasi bahasa Indonesia, penggunaan bahasa asing seperti contoh tersebut jelas menyalahi regulasi yang ada. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, telah disebutkan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang wajib digunakan dalam berbagai aspek, termasuk juga nama geografi di Indonesia, meliputi nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, hingga fasilitas umum, penunjuk jalan, serta alat informasi yang merupakan pelayanan umum lainnya.
Pada gambar kedua, terlihat kreativitas pemuda kita dalam mengolah bahasa. Namun, kreativitas tersebut justru menimbulkan kekeliruan. Lewat pelacakan melalui aplikasi Mediatoolkit, dalam kurun waktu empat bulan saja, kata yang keliru ini telah digunakan pada lebih dari tujuh ribu unggahan di media sosial. Kata jujurly merupakan gabungan dari dua bahasa, Inggris dan Indonesia, yang bermakna ’sejujurnya’. Penggabungan kata tersebut dapat menggambarkan keaktifan para pemuda dalam misi penginternasionalan bahasa Indonesia dengan cara memodifikasi kata-kata tertentu sehingga terdengar lebih “internasional”. Akan tetapi, secara morfologis, bentuk kata tersebut jelas salah.
Setelah melihat dua fenomena tersebut, kita kembali lagi pada pertanyaan, apakah bahasa Indonesia sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri sehingga cukup siap untuk maju bertempur sebagai bahasa internasional? Sepertinya belum. Bangsa kita masih diliputi nasionalisme semu. Kita merasa tertandingi oleh bahasa lain, tetapi di sisi lain juga masih terdominasi oleh bahasa lain. Entah karena gengsi atau tidak mengetahui regulasi, tetapi permasalahan kebahasaan ini bersifat sistemik.
Oleh karena itu, sebelum sungguh-sungguh menyongsong misi penginternasionalan bahasa, mari kita bersama memartabatkan bahasa Indonesia lewat langkah-langkah kecil dan sederhana. Sesederhana memilih menggunakan kata jujur alih-alih jujurly di postingan media sosial. Mari kita terlebih dahulu bergotong-royong menunaikan kalimat pertama dalam slogan trigatra bangun bahasa, yakni utamakan bahasa Indonesia. Mari mengembalikan muruah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan seperti yang sudah dirumuskan dan dicita-citakan oleh para pemuda kita sejak 28 Oktober 1928. Mari kembali menjadi putra dan putri Indonesia yang menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. [aas]
Artikel telah dimuat di Radar Semarang
Nama : Hesty Nurul Kusumaningtyas
Alamat : Kabupaten Klaten
Intansi : Universitas Gadjah Mada
Angkatan : Duta Bahasa Jawa Tengah 2022