Eksistensi Bahasa Indonesia dalam Penggunaan Jenama di Sektor Industri Kreatif
Iva Millatul Azhariyah
Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan yang digunakan dalam berkomunikasi dan menyebarluaskan informasi. Namun, penggunaan bahasa Indonesia kini mengalami penurunan. Bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar.
Sebagian orang yang bertutur dihinggapi rasa rendah diri. Mereka merasa lebih dihormati dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam tulis maupun lisan, menyisipkan setumpuk istilah asing yang sudah memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada penurunan rasa bangga berbahasa Indonesia pada sebagian orang.
Permasalahan itu harus segera diatasi dengan langkah strategis yang solutif. Solusi yang diberikan semestinya bersifat kolaboratif sehingga ikut serta memajukan sektor lain. Salah satu yang bisa digandeng adalah industri kreatif milik pelaku usaha dalam negeri. Mereka memiliki peluang pasar yang luas dan akan meluas seiring berkembangnya teknologi.
Pemanfaatan bahasa Indonesia dalam industri kreatif dinilai mampu mendorong permasalahan eksistensi bahasa Indonesia sekaligus mampu meluaskan industri kreatif milik pegiat usaha. Pangsa pasar yang diproyeksikan semakin meluas seiring globalisasi akan membuka peluang lebar industri kreatif memasarkan usahanya di sektor lokal dan global. Pangsa pasar yang lebar itu tentu sekaligus meluaskan penggunaan bahasa Indonesia. Terlebih lagi subsektor industri kreatif beragam jenisnya.
Terdapat 16 subsektor industri kreatif yang hingga kiniini dinaungi Kementerian Pariwisata dan Indistri Kreatif (Kemenparekraf). Keenam belas subsektor itu adalah pengembang aplikasi dan games, arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, fesyen, film animasi dan video, fotografi, kriya, kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni visual, dan televisi radio.
Subsektor industri kreatif yang luas dan berproyeksi besar perlu digandeng dalam pemartabatan bahasa Indonesia. Sayangmya, masih marak penggunaan istilah asing yang digunakan. Sebagai contoh kata kata saudade dari bahasa Portugis yang tidak memiliki terjemahan langsung, tetapi mengartikan perasaan nostalgia. Mereka sebagai pelaku industri kreatif perlu diajak berkolaborasi dalam pengutamaan bahasa Indonesia.
Langkah sedemikian itu secara tidak langsung meluaskan penggunaan bahasa tersebut di sektor industri kreatif. Oleh karena itu, terdapat langkah strategis yang bisa dilakukan para pelaku usaha industri kreatif. Langkah tersebut, antara lain, pemberian jenama atau pemberian nama produk dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Penjenamaan dengan ragam pilihan bahasa Indonesia yang memiliki kedalaman makna sekaligus memiliki makna filosofis akan membantu perluasan penggunaan bahasa Indonesia di ranah publik. Masyarakat yang menggunakan jasa atau produk pelaku industri kreatif akan bersinggungan langsung dengan bahasa Indonesia dan akan mendapat informasi terkait dengan makna jenama tersebut. Misalnya, pemberian jenama “adiwangsa” yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘bangsa utama (mulia)’ atau pemberian jenama “cenderasa” yang dalam bahasa Indonesia bermakna ‘pedang yang sakti (memiliki keampuhan)’.
Penjenamaan itu akan menarik minat para pengguna jasa atau produk industri kreatif untuk memperhatikan dan mencermati bahasa Indonesia. Selain itu, kesan yang baik akan diperoleh mereka yang membaca jenama dan nama produk beserta makna yang terkandung di dalamnya. Kolaborasi antara industri kreatif dan pemanfaatan bahasa tersebut harus terus berlanjut demi pengutamaan bahasa Indonesia di ranah publik dan internasionalisasi bahasa Indonesia.
Artikel telah terbit di Radar Semarang
Iva Millatul Azhariyah, Duta Bahasa Jawa Tengah 2023
Penyunting: Agus Sudono