Pengutamaan Bahasa Indonesia dalam Industri Kreatif
Jovita Anmaria Cahya
Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang terdampak oleh derasnya arus globalisasi. Akibatnya, berbagai perubahan pun turut terjadi di berbagai lini, termasuk bidang ekonomi dan teknologi. Masyarakat harus siap menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan untuk lebih berinovasi dalam mengembangkan sektor industri kreatif. Alasannya, saat ini industri kreatif merupakan sektor baru yang berkaitan langsung dengan optimalisasi produk-produk teknologi.
Salah satu bukti optimalisasi produk teknologi yang dilakukan generasi muda adalah memanfaatkan media sosial sebagai media pemasaran yang efektif dan efisien. Sayangnya, eksistensi media sosial dalam beraneka platform pun bak pisau bermata dua. Di satu sisi ia memberikan kebermanfaatan yang tinggi bagi para pelaku industri kreatif. Akan tetapi, kompetisi pasar dalam menciptakan iklan pun mengancam muruah bahasa Indonesia. Hal itu terjadi karena peningkatan intensitas penggunaan bahasa asing dengan alasan klise, yakni agar produk yang dipasarkan mampu menjangkau pasar global. Selain itu, pengabaian terhadap diksi yang sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun kian menjadi demi memenuhi faktor estetika dalam karya poster dan konten digital sejenisnya.
Fenomena tersebut menggambarkan disrupsi Tri Gatra Bangun Bahasa yang memiliki prinsip pengutamaan bahasa Indonesia, pelestarian bahasa daerah, dan penguasaan bahasa asing. Tiga prinsip tersebut seringkali terabaikan oleh para pelaku industri kreatif karena tuntutan pasar yang tidak peduli dengan muruah bahasa Indonesia. Padahal, jika ditelisik lebih lanjut, keberhasilan negara-negara maju dalam memperkukuh identitas bangsanya, antara lain, konsisten mempertahankan kaidah-kaidah kebahasaan mereka. Alhasil, negara lain turut mematuhi aturan tersebut dan secara tidak langsung mempromosikan kaidah kebahasaan negara itu. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat kepatuhan masyarakat Inggris, Korea, dan Jepang dalam menggunakan bahasa mereka masing-masing. Penutur jatinya konsisten menggunakan kaidah kebahasaan mereka, termasuk ketika memasarkan produk mereka melalui berbagai platform.
Kondisi masyarakat negara tersebut jelas berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Lagi-lagi, alasan klise yang sebenarnya mampu diantisipasi. Masyarakat kita justru lebih memilih untuk tidak mengacuhkan prinsip-prinsip dasar bahasa Indonesia. Ketakutan akan penolakan produk dari masyarakat global seakan menjadi momok utama daripada pengukuhan identitas bangsa yang dalam konteks ini adalah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Stigma pembatasan dan kekakuan dalam bahasa Indonesia pun dinilai mengurangi nilai estetika. Hal tersebut kemudian diperparah dengan banyak orang yang berpikir “yang terpenting maksud dan isi pesannya tersampaikan” sehingga tidak masalah jika penggunaan bahasa tidak sesuai dengan kaidah.
Generasi muda sebagai pewaris bangsa sekaligus pelaku industri kreatif harus mulai sadar untuk terus berinovasi tanpa meninggalkan bahasa Indonesia. Mereka harus kreatif mengambil langkah yang tepat dalam optimalisasi pengutamaan bahasa Indonesia melalui produk kreatif yang mereka kembangkan. Industri kreatif yang dikembangkan harus mampu menjadi instrumen menarik dalam upaya memperkuat eksistensi bahasa Indonesia.
Marak terdengar kabar produk-produk industri kreatif mampu menjangkau pasar luar negeri bukan? Bukankah ini menjadi langkah awal bagi kita untuk memperluas jangkauan dan menarik warga negara asing mempelajari bahasa Indonesia? Akankah generasi muda kita mengambil kesempatan ini? Ataukah hanya akan menjadi angan-angan kita saja? [jov/asa/aas]
Artikel telah terbit di Radar Semarang
Jovita Anmaria Cahya, Duta Bahasa Jawa Tengah 2023
Penyunting: Agus Sudono